«Orang suka bertanya, bagaimana perasaan kamu bahwa kamu tahu istri kamu akan meninggal tidak lama lagi» — cerita Feynman. Terkejut, resah, pasti. Tapi setelah itu hidup jalan terus. Dengan candaan dan kreativitas hidup yang nggak pernah berkurang, dan dengan pekerjaan yang nggak pernah habis. Hidup jadi berlangsung apa adanya. Seperti orang lain hidup.
Terus Feynman membalik pertanyaan itu. Seandainya ada makhluk hidup di Mars, dan makhluk itu tidak memiliki kemampuan untuk mati (kasihan yach). Kalau makhluk Mars itu datang ke bumi, dia akan sangat takjub mendapati manusia yang akan menghadapi kematian dalam usia rata-rata 60-an tahun. Takjubnya bukan karena kematian. Tapi karena manusia sadar bahwa mereka akan mati. Dan mereka tetap menjalani hidup dengan ceria, dengan dinamika dan kreativitas yang luar biasa.
«Apa yang terjadi pada kami, terjadi juga pada kita semua. Kita punya kepastian yang sama. Hanya saja kami memiliki waktu yang lebih pendek.» gitu lanjut Feynman. Maka waktu Arlene meninggal, dia tidak mau lama-lama melihat badan yang sudah tidak bernyawa lagi. Dia ambil barang-barang Arlene, dan kembali ke proyek, dan menolak orang-orang bersimpati. Hidup jalan terus.
Beberapa bulan setelah Proyek Manhattan selesai, Feynman jalan-jalan ke kota. Di sebuah etalase toko, dia lihat ada baju perempuan yang menarik. Arlene pasti pingin beli baju itu, pikirnya. Pikiran itu menyentaknya, dan membuat dia sadar bahwa dia benar-benar kehilangan Arlene. Lalu untuk pertama kali dia menangis.
Menangis juga manusiawi.