Tahun 1940, orang-orang di kota Jhang, Punjab berbaris di jalan memberi sambutan meriah. Buat seorang pejabat? Bukan, buat seseorang yang jauh lebih hebat dari itu. Orang itu Abdus Salam masuk kota dengan bersepeda. Usianya 14 tahun, dan ia baru saja memecahkan rekor ujian matrikulasi di Universitas Panjab. Ia kemudian memperoleh beasiswa untuk bersekolah di Univ Panjab, dan kemudian di St John’s College di Universitas Cambridge, UK. Ia pernah ditawari masuk Trinity College yang bertetangga dengan St John, tapi ia menolak. Taman di Trinity tidak seindah di St John, katanya. Di Cambridge, ia jadi wrangler (yaitu: matematikawan kelas satu). Kayak si Doel anak
betawi, dia juga rajin sembahyang dan mengaji Qur’an.

Fred Hoyle, kosmolog kondang yang kelak jadi musuh besar Stephen Hawking, menganjurkan Abdus Salam melakukan riset dalam fisika eksperimental. Bencana terjadi, haha. Salam kurang trampil di lab. Hasil eksperimennya suka ajaib, dan ia menulis penjelasan dengan menemukan teori-teori baru. Tapi ternyata itu membantunya untuk betul-betul menyusun teori-teori baru. Ia, misalnya, berhasil menuliskan formulasi matematika yang membuktikan dugaan-dugaan Schwinger, Feynman, dan Dyson mengenai karakteristik elektron. Sejak itu Salam juga mulai memberikan prediksi-prediksi, yang kemudian akan banyak terbukti, misalnya tentang pelanggaran asas paritas.

Fisika itu ibadah, kata Abdus Salam, tapi juga kesenangan.

Ujungnya, pada tahun 1979 ia memperoleh hadiah Nobel untuk Fisika, atas jasanya memformulasikan penyatuan elektromagnetika dengan nuklir lemah, sekaligus membuka satu langkah baru ke penyatuan fisika — hal yang tidak pernah dicapai oleh Einstein (ide yang terlalu cepat, begitulah).

Hmmm, Nobel untuk ibadah, atau Nobel untuk kesenangan? Atau Abdus Salam juga sebenarnya menemukan penyatuan antara sains, ibadah, dan kesenangan? 1 Nobel lagi?