Kalau masalahnya pada soal ketidaktahuan, kenapa ketidaktahuan selalu
dipakai untuk pembelaan, bukan instrospeksi. Kenapa, misalnya orang seperti
Pramudya, yang dulu sibuk memberangus karya orang lain, lengkap dengan
pembunuhan karakter atas penulisnya, lalu mengaku tidak berdosa
karena hanya menjalankan kata hati yang mengalir bersama retorika massa,
akhirnya tetap dianggap pahlawan?
Orang bodoh, seandainya pun dianiaya secara kejam oleh orang bodoh
lainnya, tidak berarti secara otomatis kehilangan kebodohannya. Tidak mungkin.
Kehilangan kebodohan adalah soal lain, tidak pernah otomatis, dan selalu
memerlukan kegiatan untuk mengubah diri sendiri. Tapi apakah orang seperti
Pramudya pernah menunjukkan penyesalan sikap? Tidak pernah, selain selalu
dan selalu membanggakan dedikasinya sendiri. Dedikasi dalam
pengakuan kelompoknya sendiri.
Aku nggak lagi mikirin Pramudya sebenernya. Kebeneran aja nama itu
masuk mendadak. Aku lagi mikirin orang-orang yang menjalankan masyarakat
ini, masa lalu, masa kini. Orang-orang yang tidak pernah salah :).
Sekali lagi: kalau masalahnya soal ketidaktahuan, kenapa ketidaktahuan
selalu jadi pembelaan, bukan introspeksi. Kenapa bukan waktu berkuasa
kita berendah diri, mengakui bahwa kita mungkin salah, mencoba selalu
mendengarkan pendapat yang berbeda. Dan membuang semua kesombongan
dan tinggi hati?
Mungkinkah kita juga akan terjebak kesalahan yang sama?