“Konsepnya udah lama jadi. Soalnya tinggal masalah dana.” Trus kita ketawa renyah dan riang, dengan nada yang bakal bikin setiap orang mengira kita lagi nggak puasa. Terlalu klasik. Doku, ojir, fulus, l’argent, apa lagi lah. Heh. Bakal terlalu klasik, sampai jangan-jangan kita terbiasa berpikir bahwa itu bener: titik kemacetan kita beneran ada di soal uang. Emang sih, uang itu benda ekonomi yang paling likuid, dan mirip oli: dia jadi pelumas yang baik. Tapi di dunia yang udah kita bikin kompleks dengan manis ini, uang tidak lebih dari konsep aja: sesuatu yang virtual. Satu dari banyak hal.

Dalam praktek di sejarah kita: bener gitu kita pernah mensolusikan masalah dengan uang?

Atau dibalik: bener gitu datangnya uang pernah memecahkan masalah kita?

Ada miliaran penduduk di dunia, dan ada jauh lebih banyak kemungkinan jawaban untuk dua pertanyaan itu (bukan cuma empat). Tapi kebeneran buat aku jawaban empiriknya terlalu jelas, biarpun alasannya bikin aku bingung juga.

Jadi solusinya apa? Solusinya antara lain: tidak mencari solusi singkat. Belajar menerima hidup sebagai proses mencerdaskan dan mengarifkan diri (dan aku nggak lagi cerita tentang sekolah dan buku sama sekali). Kita baru memakai kurang dari 10% potensi yang ada di diri kita. Sisanya macet karena pola pandang kita terlalu mudah macet. Itu yang perlu dilicinkan, di-likuid-kan.

Dan yang jelas, kita perlu interdependensi — kata yang aku culik semena-mena dari Covey. Kerja bersama, saling membantu, saling memperbaiki.