Flashback ke Malang tahun 19xx. Aku lagi kerja di Lt 2 LPK, bikin laporan buat kampus. Kayak kebiasaan aku waktu itu, semua pekerjaan baru dimulai di saat-saat kritis menjelang deadline. Sore … kerjaan tinggal dikit … tinggal print dan fotokopi dan paginya bisa disubmit. Tapi *blup* listrik mati … semua file masih di harddisk. Semua! Aku masih tenang-tenang aja, kumpulin buku-buku, beresin ruang komputer. Tadi cahaya di luar mulai hilang, dan belum ada tanda listrik mau hidup. Stress mode on. Menghitung alternatif. Tapi kan semua file masih di harddisk. Kernel panic. Aku jalan-jalan di sepanjang lorong. Trus …

Eh, West, pikir aku, Daripada stress gini, mendingan kamu berdoa.

Tapi gimana caranya berdoa minta listrik hidup. Ini tahun 19xx, si aku masih lebih suka berdoa untuk seluruh semesta daripada buat hal-hal kecil kayak ujian, seminar, atau listrik. Tapi masa sih aku harus selalu sombong nggak mau berdoa buat diri sendiri. Coba berdoa. Tapi gimana caranya?

Aku coba, “My God, please …”

Please apa yach …

Tapi kayaknya Yang Mahasayang nggak tega ngeliat aku kelamaan nyusun doa. Jadi saat itu juga listrik langsung nyala. Komputer langsung hidup lagi.

“Thanks God. Alhamdulillah.”

Bukan cuma Nazaruddin yang doanya bisa langsung dikabulkan. Dan seperti juga Nazaruddin, doa nggak harus bersifat kausal.

Cuman kayaknya aku waktu itu yakin denger suara Mikhail nahan ketawa di belakang kursi.