Tapi ada juga sih yang mengambil keuntungan tidak sah dari Hawking, dan sayangnya aku baru tahu hari ini. Cek di http://www.msnbc.com/news/756320.asp. Buku Theory of Everything diterbitkan tanpa izin dan tanpa sepengetahuan Hawking.
Manuscript tua itu tadinya hanya untuk diterbitkan dalam bentuk kuliah lisan terekam. Tapi setelah buku-buku Hawking laku keras, si penerbit dengan semena-mena menerbitkan buku itu seolah-olah sebagai sekuel buku-buku Hawking. Pembeli bakal tertipu, soalnya isi buku itu sudah dibahas di buku-buku Hawking yang terbit sebelumnya.
Makhluk ajaib itu sempat menyesal, kenapa hidupnya banyak dipakai buat bermalas-malasan. Belajar, secara efektif, cuman 1 jam sehari. Selain itu exploring tak menentu aja. Olah raga pun nggak, bahkan boleh dibilang nggak suka. Otot-ototnya suka sakit dan sukar diatur untuk berkoordinasi dalam olah raga teratur.
Sakit pada otot itu kemudian diseriusi tim dokter. Hasilnya memang sangat serius, para dokter bilang. Dan manusia bukan makhluk yang tabah secara alami. Jadi si makhluk ajaib itu banyak merenung dan menarik diri. Dan mulai menyukai musik-musik Wagner. Dan entah dapat inspirasi dari Wagner (yang karya-karya terbaiknya diciptakan dalam keterjepitan) atau memang dari karakter asli dirinya yang selama ini terpendam dalam rutinitas hidup, dia mulai menseriusi hidup, dan panggilan hidupnya untuk menggali ada apa di balik formulasi semesta yang indah ini. Dan hidup mengalir panjang, biarpun otot-otot tubuh benar-benar dilumpuhkan, pada akhirnya.
Di Eropa, waktu mau menghadiri opera Die Walküre yang serba gelap dan serba cerlang itu, dia ambruk. Nyaris divonis mati dokter-dokter Swiss, tapi dilarikan di Inggris dan diselamatkan, biarpun kehilangan suara. Dan tetap tidak bisa bergerak. Di waktu-waktu itu dia mulai punya ide untuk menulis buku tentang riset-risetnya, dalam bahasa publik, untuk dikonsumsi orang banyak.
Cerita-cerita lain tentang Stephen Hawking akan menyusul, kalau ada waktu lagi.
Iseng baca review buku Hawking yang aku tulis di amazon.co.uk 10 bulan lalu. Amazing, ada 53 response untuk review itu (yang nama reviewernya cuman aku tulis sebagai “a reader from Coventry UK”), dibandingkan dengan 20-an response untuk review lainnya. Ugh, mestinya aku rada-rada sering meluangkan waktu buat yang gitu-gitu.
Tantangan sih tantangan. Tapi soalnya kita suka mengaku sibuk, dan
cenderung mengabaikan request-request berbagu e-diot. Jadinya … kali
kita membiarkan orang larut dalam e-diocrachy.
Gimana sih caranya mentransformasikan gagasan, kalau belum-belum
udah kesal membayangkan tubrukan diskursus yang bakal disikapi
dengan kekanakan lagi. Kali tantangannya dipindahin aja ke sini.
Bentuknya adalah: pengorganisasian gagasan-gagasan ke dalam bentuk
yang dapat diakses dengan mudah.
Iya juga. Kenapa aku malah suka melupakan langkah kayak gitu. Di
hari-hari kemaren, langkah-langkah kayak gitu banyak membantu
dalam membentuk gagasan baru lagi, dan pemecahan baru lagi.
Elsa’s Dream dari Wagner mengiringi aliran teks malam ini.
Kasus QSAR (dan segera menyusul: ProBest, Larasindo, etc), kasus
Batutulis, kasus pengelolaan soal Nunukan, kasus terpilihnya
kembali Sutiyoso (atau bahkan terpilihnya orang yang memilih dia),
menunjukkan bahwa memang republik ini penuh dengan kaum e-diot
(a.k.a. inDUHvidual).
Kaum e-diot, tidak seperti kaum idiot lama, tidak cuman bisa
hah-huh-hoh, tapi bisa bercuap-cuap lancar dan saling mentransaksikan
e-diocrachy. Di forum-forum cyberspace, mereka juga banyak mengisi
ruang, dengan logika sekedar IF-THEN-ELSE plus ekstrapolasi di luar
konteks.
Aku harus bilang apa? Hidup tanpa tantangan itu bukan kehidupan.
Sharing juga dilakukan dengan Dimitri Mahayana, legenda Smanti yang udah jadi legenda entah di mana aja. Tapi luapan dulu soal legenda, hal-hal yang disampaikan hari ini juga sesuatu yang berharga, bukan sekedar basa-basi.
Tapi kayaknya aku tulis lain kali aja. Perlu istirahat agak panjang malam ini.
Hari yang berharga. Sharing vision dengan Ida IDG Raka, salah satu tokoh yang pernah melakukan transformasi budaya di Telkom, dan diakui cukup berhasil (walaupun dalam skala tertentu keberhasilan itu banyak dianulir pimpinan Telkom masa setelah Cacuk).
Gde Raka mengingatkan kembali hal yang mulai terlupakan di Telkom, yaitu bahwa organisasi adalah komunitas manusia (bukan sumberdaya manusia) yang saling berinteraksi mewujudkan visi dan cita-cita bersama; dan dengan demikian kemanusiaan, kepemimpinan kemanusiaan, hubungan kemanusiaan, dan nilai-nilai kemanusiaan (awareness, kemaknaan) nilainya melebihi kompetensi, dan seharusnya jadi modal yang kuat untuk mengembalikan lagi kepribadian Telkom.
Aku kayak diingatkan kembali, kenapa aku nekat balik ke Telkom …