Verbum sapienti, gitu kata Enya di Cursum Perficio yang biasanya menyusul
Watermark. Cukup kata-kata pendek dan tepat untuk kaum yang bijak. Bukan
kaum yang bijak dalam arti yang berjubah putih, tentu (canda), tapi yang
bisa menempatkan setiap wacana dalam konteks.
Barangkali zaman dulu banyak ujar-ujar di luar konteks, jadi pendeta Hindu
purba tidak memperbolehkan setiap orang baca Veda. Sekarang juga kita
suka nyengir kalau ada yang menyitir Qur’an di luar konteks, kan ? :).
Dulu ada yang marah-marah dengar lagu “Padamu Negeri”, soalnya, katanya,
tujuan hidup kita hanya Allâh, bukan negeri. Ugh. Aku pingin tahu
konsep mencari ridla Allâh tanpa mengabdikan hidup untuk masyarakat
dan untuk negeri. Rajin shalat, berceramah di kampung, bagi zakat tepat
1/40 harta, dan sedekah sekedarnya, plus nabung buat haji. Kali.
“Mau ke mana?”
“Ke Rancaekek.”
“Jawaban kamu salah. Seharusnya: menuju ridla Allâh.”
“Oh iya. Jadi kamu mau ke mana?”
“Menuju ridla Allâh.”
“Oh iya. Kita satu tujuan donk. Ayo bareng naik mobil saya.”
“Eh iya, tapi saya mau ke arah barat, bukan ke timur.”
“Katanya mau menuju ridla Allâh. Kok sekarang ganti jadi menuju arah barat?”
Kalau keterusan bisa jadi Syech Siti Jenar.
“Siapa itu?”
“Aku Allâh.”
“Oh, itu Syech Siti Jenar?”
“Syech Siti Jenar tidak ada. Satu-satunya zat yang ada ialah Allâh.”
Padahal oknum yang sama dengan yang memarahi lagu Padamu Negeri itu
juga anti dengan kaum-kaum yang mirip Syech Siti Jenar.