“Kalau tuhan maha kuasa, bisakah tuhan menciptakan benda yang sangat berat
sampai tuhan pun tidak sanggup mengangkatnya?” gitu tulis salah satu pengunjung
site ini. Aku nggak bisa ngebayangin, baca tulisan aku yang mana dia sampai
terus inget teka teki Yunani purba ini.
Zaman Yunani purba, memang tuhan dipahami sebagai makhluk mirip manusia tapi
maha kuasa, maha tahu, dan maha lain-lain. Tapi kata ‘maha’ diterjemahkan
dalam arti kuantitas. Itulah sebabnya hikayat tuhan-tuhan Eropa dan bangsa
Indo-Arya suka jadi paradox, kayak Zeus-nya Yunani yang kerjaannya salah melulu,
atau Wotan-nya Nordik yang salah tingkah melulu.
Zaman kini, umumnya disepakati bahwa diskursus dalam memperbincangkan Tuhan
(which is Allâh) tidaklah sama dengan manusia. Kemahatahuan Allâh
tidak bisa dibandingkan dengan pengetahuan (atau penglihatan, kekuatan,
kebenaran) manusia. Keabadian ruh manusia di akhirat tidak bisa dibandingkan
keabadian Allâh. Pun diakui bahwa perbincangan atas Allâh selalu
hanya tentang pemetaan sifat Allâh ke dalam diskurus manusia yang tentu
loss-nya banyak, dan selisihnya juga banyak antar manusia :).
Zaman kini, konsep tentang benda dan tentang berat juga berbeda dengan zaman
Yunani purba. Segala materi-energi dan dimensi itu konsepsi matematis yang
karena ketepatannya maka mewujud secara fisika. Dan memasukkan Allâh
yang nyata ke dalam cerita kefanaan konsepsi matematis itu tentu kembali
di luar konteks.