Rasialisme itu dari mana sih? Ketakutan atau ketidakbiasaan? Apa jangan-jangan
kita semua memang memendam prasangka rasialis?

Aku pernah dipaksa sadar bahwa aku masih rasialis. Aku lagi makan malam dengan
sekelompok orang kulit hitam. Sambil ngobrol, aku liatin orang yang makan di
depan aku. Tau-tau aku mual, pingin muntah, dan kehilangan selera makan. Aku
tarik nafas panjang, baca istighfar, diam, cari bahan lelucon sebentar sampai
aku tenang, terus nerusin makan, biarpun masih mual.

Di mana tempatnya rasialisme? Di sebuah bagian dari otak, tentu, tapi bukan
di bagian yang dominan, seharusnya. Yang dominan seharusnya akal sehat, kearifan,
dan kasih sayang.

Abis riset malam, aku balik ke kamar, terus … memutuskan buat ke kamar temen
aku, bawa kopi (decaf) panas. Dia nerima aku dengan baik. Trus kita ngobrol
tentang keluarga dan masyarakat, minum bareng (aku bawa minum soalnya tau dia
nggak punya gelas lebih dari satu), makan snack dari Niger, ugh … pikiran
kita memang tidak harus selalu suci dan jernih … tapi bagian otakku yang masih
gila itu yang harus dipaksa mengalah. Dan cuman perlu hitungan menit aja untuk
melenyapkan kegilaan irasional :).

Abis itu, aku sering sekali balik ke kamar itu. Shalat bareng … sampai di ujung
tahun sering buka puasa bareng dengan menu antar bangsa yang aneh-aneh.

Baru di akhir tahun, waktu dia ngajak aku milih sepatu buat oleh-oleh buat
istrinya, aku baru inget lagi bahwa kita tidak satu bangsa. Semua yang aku
bilang bagus dibilang kampungan sama dia, dan akhirnya dengan bangga dia beli
sepatu yang warnanya kampungan bener untuk otak aku. Ugh, memang kita beda
warna, selamanya :) … tapi dengan hati yang sama :).