Sambil jalan ke Warwick kemaren, Adnan menggugat pola pikir seniman seangkatan Wagner. Atheist, kata dia.
Tapi tidakkah kita semua juga atheist?
Buat orang Eropa di masa itu, ungkapan “tidak percaya pada tuhan” hanyalah tudingan buat orang yang tidak mau mengakui tuhan versi orang Eropa. Kalau aku hidup di masa itu di tempat itu, aku harap aku termasuk orang yang menolak tuhan hasil olahan Eropa masa itu, dan biarlah aku digolongkan atheist bersama Marx atau Nietzsche.
Faust (versi Goethe) antara lain juga menggambarkan pertikaian pikiran macam itu. Dia muak dengan tatanan pikiran (ilmu, moralitas, nilai-nilai) yang saat itu dikuasainya, dan menganggapnya tak lebih dari kesia-siaan hidup yang buta. Tapi langkah apa yang harus diambil, saat semua domain masyarakat sudah terikat pada nilai buta yang sudah mengikat erat. Hanya spekulasi. Apakah lalu iman harus dispekulasikan? Iman yang salah selalu lebih buruk dari iman yang dispekulasikan, lalu Faust pun berkelana bersama Mephisto.
Adnan jelas heran. Biasanya aku menjawab pertanyaan dia dengan candaan. Tapi ada waktunya kita menunjukkan sesuatu secara jelas, sebelum kita memperbincangkan soal lain seperti musik (Wagner, aku rasa, pengikut Goethe atau Schopenhauer) atau filsafat. Lalu di mana akhir pengembaraan Faust, tanya dia. Semua orang selalu ingin tahu akhir cerita, seolah inti cerita ada di akhir. Dan di dalam kisah Faust, Tuhan bersabda kepada Mephisto: “Sesatkanlah dia sesukamu. Akhirnya dia akan kembali kepada jalanku.”
Manusia, pada akhirnya, akan mencapai kemenangan di jalan Allah, selama ia mau mengubah dirinya, dan mau berlepas dari kebodohan dan kebutaan.