Khatib muda itu bermuka simpatik. Tidak sibuk menyalahkan orang lain, dia mengajak kita untuk mengamati diri sendiri, untuk melihat sejauh mana kita mempengaruhi orang-orang dekat kita. Apakah kita ikut berperan untuk membuat mereka lebih baik, atau malah lebih buruk. Kita memiliki tanggung jawab atas pengaruh kita pada orang lain, begitu dia sampaikan Jumat ini.
Kayaknya sebelumnya ada yang juga mempertanyakan: apa aku membawa pengaruh positif ke orang-orang dekat aku, atau cuman bikin berisik tetangga dengan Wagner. Wow, ekstropeksi yang menarik juga.
Kalau mau jujur sih, aku juga nggak tahu jawabannya. Misalnya catatan ini. Banyak yang berbasa-basi bilang bahwa catatan ini jadi inspirasi buat mereka. Tapi di luar soal basa-basi, apa sebenarnya catatan ini membuat orang lebih arif, lebih bisa bersyukur atas kasih sayang Allah, lebih mendekatkan diri pada Allah, lebih bekerja keras memicu pikiran daripada memakai acuan buta, lebih mencoba memahami kompleksitas pikiran dan perasaan orang lain? Kayaknya nggak sama sekali. Catatan ini jadi dekaden, lebih banyak berceloteh tanpa ujung pangkal tentang selera yang ganjil, humor yang kering, dan pikiran setengah jalan.
Barangkali sementara ini aku hentikan dulu catatan ini. Ada waktunya kita mulai, ada waktunya kita berhenti sebentar untuk menatap balik langkah kita, dan ada waktunya kita mulai lagi.
Hanya dengan kasih sayang Allah kita melangkahkan hidup kita, hanya kepada Allah kita menghadapkan hati kita.