Mood suka kacau balau. Persis yang diramalkan di buku panduan British Council. Cuman produktivitas harus tetap tinggi. Jadi mulai akrab lagi dengan kopi. Decaffeinated coffee, biar ramah buat perut dan jantung. Sedap.
Di Intisari tahun 1980-an, Slamet Soeseno pernah cerita tentang asal-usul kopi. Kopi ditemukan oleh domba di Arab. Penggembala jadi kesal, soalnya dombanya berkicau, eh mengembik terus-terusan sepanjang malam, tidak bisa tidur. Jadi dia lihat itu domba, ternyata mereka sedang mengunyah daun dan biji tanaman kahwah. Penggembala mengusir dombanya menjauh, lalu sambil agak emosional dia membakar tanaman kahwah itu. Tapi saat dibakar, tercium aroma menarik. Ternyata aroma sedap itu datang dari biji yang terbakar. Si pengembala penasaran, dia ambil biji yang sudah hangus itu, dan langsung digigit.
Wadow, kerasnya.
Tapi kita tahu, orang Arab itu gigih. Dia ambil biji-biji hangus itu, lalu dia rendam di air, kemudian airnya direbus, agar bijinya melunak. Tapi para biji ternyata lebih keras hati, kurang berkenan untuk melunak biarpun direbus lama-lama. Malah airnya yang ikutan jadi menghitam dan harum.
Dasar si Arab suka penasaran, dia mau coba rasa airnya. Diminumlah itu air. Wow, enak dan segar. Namun kemudian situasi berubah — sekarang dia ikutan tidak bisa tidur.
Namun tentunya, jauh setelah masa itu, untuk menikmati sari kahwah (café, coffee, kopi) orang tidak harus bakar pohonnya. Gilé apé? Cukup petik bijinya, baru dibakar. Kadang difermentasikan dulu sih.
OK, satu cangkir lagi ah. Yang decaf sih … Kopi is oke, tapi bobo juga oke.