Tag: sdp

Carrier Ethernet World, Sentosa Island

Tori Bennett dan Ingerid Sorgaard kembali melakukan kontak di tengah tahun ini, memintaku hadir di awal Desember untuk meneruskan Cerita di Hong Kong tahun lalu. Masih bertajuk Carrier Ethernet World, kali ini konferensi mengambil tempat di Resort World Sentosa, Singapore. Aku fikir, di akhir tahun aku sudah agak leluasa; jadi aku sanggupi. Tapi November ini aku disibukkan banyak request di kantor, plus persiapan Indigo Fellowship 2011 dan Tencon 2011, plus lain-lain. Jadi mirip déjà vu suasana Hongkong tahun lalu :).

Aku melandas di pulau kecil ini di sore pertama di bulan Desember. Cuaca masih segar berhias rintik dan mendung terserak. Tak mempedulikan usulan penyelenggara konferensi, aku memilih menginap di Porcelain Hotel, di sekitar Chinatown. Aku memang usil: mencoba selalu mencari suasana berbeda setiap memilih hotel di Singapore. Kali ini aku tak salah pilih: hotelnya kecil tapi segar dan nyaman. Dan dengan MRT, aku hanya terpisah 10-15 menit dari Resort World Sentosa.

Konferensi ini membahas carrier ethernet, yaitu jaringan transport backbone, regional, dan akses yang menghantar informasi dalam bentuk paket berkecepatan tinggi. Di jaringan backbone, kita menggelar DWDM dengan tera routers; di regional kita mengembangkan metro ethernet sebagai aggregator yang terhubung via DWDM atau SDH; dan di akses kita mengoptimalkan GPON dengan berbagai skema FTTX evolusioner bersama dengan MSAN dan XDSL. Berbagai skema, arsitektur jaringan, dan optimasi perancangannya akan memerlukan kesalingterhubungan dan kesalingdukungan antar layer, yaitu network, service, dan aplikasi. Tema inilah yang aku paparkan dalam konferensi ini, yaitu Service-Optimised Broadband Internet Technologies.

Aku berpresentasi di hari kedua, tanggal 2 Desember jam 12:55, tepat sebelum lunch & networking time. Presentasi diawali dengan lingkungan umum Indonesia dan bagaimana publik Indonesia mengkonsumsi informasi. Lalu melompat ke pembangunan tera router dan metro ethernet oleh Telkom Indonesia, serta perencanaan jaringan akses broadband-nya. Dipaparkan juga network IPTV yang tengah digelar Telkom. Ke layer atas, dipaparkan bagaimana pengembangan network akan dikaitkan dengan service-service baru yang diharapkan ditumbuhkan melalui partnership, inkubasi, dan community-generated applications (Internet 2.0). Skemanya dapat melalui IMS, tetapi juga SDP yang lebih pragmatis untuk IT domain. Diharapkan dapat dibentuk model bisnis dan produk masa depan yang bersifat personalised, tetapi juga mudah ditumbuhkan, diintegrasikan dengan network, dan dipasarkan (alih-alih cuma digratiskan dengan mengharap advertising atau akuisisi). Di tengah para expert yang pasti jauh-jauh lebih paham mengenai pernak pernik perancangan network berskala besar, presentasi tidak dipaparkan seperti lecture, tetapi lebih seperti sharing yang mengharapkan masukan, dan sekaligus memicu ide bagi para manufacturer untuk mempertimbangkan produk yang akan lebih teroptimasi bagi konsumen yang gila memproduksi dan mengkonsumsi aplikasi dan informasi seperti di Indonesia.

Tahun ini, aku bukan satu-satunya speaker dari Indonesia. Pada hari yang sama, tampil juga Mr Ahmad Rosadi Djarkasih memaparkan Enabling of Cloud Services to the Enterprise. Dan sehari sebelumnya Ms Agnesia Candra Sulyani (a.k.a. Mrs Djarkasih) memaparkan Driving Profitability in Carrier Ethernet Services for Business.

Tak seperti tahun lalu, tahun ini aku menolak permintaan Ingerid untuk mengisi panel session. Tapi selama break session (a.k.a. networking session) aku berbincang cukup banyak dengan beberapa peserta konferensi, membahas hal2 yang buat mereka menarik dari presentasiku, dan sekaligus membahas peluang-peluang mereka buat masuk ke industri informatika Indonesia. Aku rasa networking ini lebih pas daripada panel yang sering jadi terlalu serius :).

Selesai konferensi, aku mengelana ke Somerset, mengunjungi toko buku favoritku: Harris Bookshop. Aku gak sengaja kenal toko buku unik ini. Dulu aku selalu mampir di HMV Orchard buat berburu CD musik yang gak ada di Jakarta. Tapi HMV pindah ke Somerset di tahun 2010. Dan di sebelah HMV, terletak Harris: toko buku yang segment-nya niche. Bahkan penggemar eBook macam aku, yang bisa masuk Borders dan Kinokuniya tanpa membeli satu buku pun (selain malah beli eBook lagi via Kindle), terpelanting juga dengan buku2 di Harris yang tampaknya belum akan bisa di-eBook-kan.

Hari berikutnya, sambil menunggu flight kembali ke Jakarta, aku rehat di Café Cartel Orchard, talk panjang dengan Jim Geovedi. Tapi yang ini gak di-share di blog ah.

Digital Service Delivery Framework

Istilah konvergensi bahkan telah mengemuka waktu aku masih kuliah. ISDN waktu itu telah dikembangkan bertahun-tahun (pertama kali aku baca di majalah Time waktu aku masih SMA), dengan keinginan menyatukan komunikasi suara dan data dalam satu jaringan. Waktu akhirnya para operator mengimplementasikan ISDN, ATM (asynchronous transport module) mulai distandarkan, dan dunia komputasi memperluas jaringannya dengan Internet. Konvergensi diarahkan ke jaringan broadband, antara jaringan telefoni digital, Internet, dan media broadcasting yang waktu itu masih menggunakan CaTV. Lebih dari 10 tahun kemudian, kita telah memiliki jaringan2 yang memiliki layer network yang sama: IP. Internet. Jaringan telekomukasi di-NGN-kan dengan IMS dan TISPAN. Internet menjelma menjadi Broadband Internet dengan gebyar Web 2.o. Media telah memiliki IPTV dengan interaktivitas yang menarik. Namun konvergensi belum terjadi :)

Sifat dari network-network itu mungkin memang berbeda. Bukan dari karakteristik trafiknya. Itu sudah teratasi sekian tahun yang lalu dengan IntServ/DiffServ, MPLS, dll. Sifat pengembangan produk di atas network2 itu berbeda. Di telefoni, layanan voice, SMS, akses Internet, telah menghasilkan revenue yang besar, dengan pengelolaan customer yang relatif baik, dengan produk yang pemakaiannya bisa ditagihkan ke customer yang real.  Masalahnya adalah produk di benua ini tak cepat berkembang. Prosesnya lama, melibatkan segala aspek di dalam infrastuktur network dan bisnis yang panjang. Pun, revenue di sini sudah waktunya menurun. Decline. Dan ini bersifat global, di mana pun. Di benua yang lain, ranah web dan Internet, produk2 baru bermunculan setiap hari. Waktu pengembangan, implementasi, deployment, amat cepat. Namun tak banyak revenue yang bisa diambil dari produk digital di ranah ini, selain dari advertising. Dan advertising pun jumlahnya terbatas. Andai ada cara untuk menggabungkan kekuatan untuk menciptakan layanan yang inovatif, tepat kebutuhan, namun tersampaikan secara tepat ke customer yang terdata dan terkelola, dan dapat menghasilkan revenue yang kemudian dapat digunakan untuk inovasi lebih lanjut, tentu dunia kreasi digital jadi lebih menarik dan berwarna. Dan itu misi konvergensi di tahap ini.

Di forum Fresh tahun lalu, aku sempat menyinggung tentang SDP (service delivery platform). Jejaknya masih bisa dicari di blog ini :). SDP diharapkan mampu menjembatani berbagai aplikasi dan layanan digital, diabstraksikan dan diorkestrasikan dengan database user dan konteks2 penting lainnya (lokasi misalnya, dan informasi perangkat, preferensi user, peta, layanan publik, dll, dll), lalu disampaikan melalui virtualisasi network dan terminal, untuk diterjemahkan sebagai layanan real ke atas berbagai jenis jaringan (telefon, televisi, mobile) ke berbagai jenis perangkat (HP, smartphone aneka platform, TV, dll).

Tampaknya ideal. Tapi ternyata belum terjadi konvergensi juga. Layanan tradisional, seperti voice (mobile dan fix), message, dll, dengan tingkat kehandalan yang dipersyaratkan, belum dapat dimasukkan. Dunia telefoni memiliki jawaban yang menarik: IMS. IMS memang terpusat di layanan dengan sesi-sesi yang jelas, seperti telefoni, dan menggunakan protokol yang distandarkan, yaitu SIP. Namun mulai ada prakarsa untuk memperluas IMS untuk juga menangani sesi-sesi web, video streaming, dan televisi. Apa pun itu, abstraksi di sisi layanan masih akan harus dijajagi dari awal jika hendak dimasukkan ke dunia IMS.

Yang akan menarik adalah mencoba mencoba menggabungkan IMS dengan SDP. Entah kenapa ini mengingatkan aku pada penggabungan MPLS dengan ATM, dalam arti banyak skema2 menarik yang diajukan untuk penggabungan IMS dan SDP ini, sesuai dengan optimasi masing2. Membacai berbagai skema2 ini pun sudah cukup mengurangi waktu bobo, dan membuat kopi jadi menu utama :). Gambar di bawah ini adalah salah satu yang aku pikir cukup pas untuk dunia kita

Pertama, aplikasi dibagi tiga dulu. Aplikasi2 yang selama ini sudah ada di dalam network (komunikasi telefon, message, dll), yang secara tradisional telah menghasilkan revenue tinggi dan harus dipertahankan, dan dioperasikan langsung oleh network operator, dapat memiliki link langsung ke seluruh resource network. Pragmatis. Agak2 bersifat hardwired. Aplikasi semacam ini dapat langsung dihubungkan ke dalam IMS, atau network-centric part. Aplikasi lain, yang bersifat inovatif, mudah diciptakan dan dimodifikasi oleh tim pengembang atau oleh komunitas di luar; ditempatkan mengikuti arsitektur SOA (dalam IT-centric part), dan dapat memiliki akses ke network, enabler (pengelolaan konteks), maupun sumberdaya lain. Aplikasi jenis ketiga, dari dunia Web 2.0 dengan berbagai mashup-nya, yang bersifat long tail (kecil namun potensial), dapat memiliki akses melalui widget2 dan melalui aplikasi built-in yang menghubungkannya dengan sumberdaya di dalam SDP.

Ini tentu adalah diskusi awal yang memerlukan eksplorasi yang panjang. Deksripsi semacam ini pun agak tak masuk akal disajikan dalam sebuah entry blog dengan panjang kurang dari 10 paragraf semacam ini. Mestinya melalui Twitter, haha.

Weekend ini aku mau ke Malang untuk mendiskusikan soal ini. Ada yang berminat bergabung? Sila hubungi Departemen Teknik Elektro Universitas Brawijaya.

Fresh 6

Fresh 6 ini penting buat aku :). Soalnya aku pernah bilang ke Kukuh: membuat Fresh itu rada gampang. Tapi mempertahankan untuk rutin akan makin berat. Milestone pertama adalah setelah Fresh 5 — yang berikutnya akan masih diisi dengan penuh semangat atau mulai dengan keengganan. Tapi asiknya, ternyata Fresh 6 ini justru pengunjungnya membanjir. Sip deh. Good job, pals.

BTW, aku telat di Fresh 5 bulan sebelumnya. Dan tak kusesali. Telatnya gara2 dijadwalkan berbincang dengan seorang Helmy Yahya. Ini makhluk memang inspiring; pun di luar layar kaca. Salah satu yang doi sampaikan adalah bahwa orang Indonesia memiiki prestasi yang sebenarnya OK: bulutangkis, panahan, catur, matematika, fisika, coding, dll, dll. Deret yang panjang. Syalahnya, kalau kerja tim, kita langsung runtuh. Maka itu belum terdengar kita berprestasi misalnya di sepakbola. Atau membuat industri kreatif yang besar dan complicated. Hal ini aku sampaikan di Fresh 6 ini sebagai bagian dari sharing tentang SDP. SDP sendiri beberapa kali sudah dibahas di blog ini; sampai SDP 2.0 segala. Ini platform yang nantinya akan membantu para technopreneur dan komunitas-komunitas kecil untuk mengembangkan bisnis content & aplikasi-nya sendiri; dengan support yang cukup lengkap di sisi network.

Fresh 6 ini memang bertema Technopreneur. Disponsori Indopacific Edelman, acara ini dilangsungkan di sebuah resto di kawasan Adityawarman, Jakarta; Kamis malam lalu (29 Januari). Pitra sudah menuliskan laporan yang lengkap di site Fresh yang baru: freshyourmind.com. Keren, domain, site, sama laporannya.

Temen ngobrol di Fresh ini adalah Ahmad Sofyan, sambil sesekali jalan2 networking dikit2. Juga Mas Novyanto. Dan dinner bareng pasangan Akhmad Fathonih dan Sofia Kartika. Dan jumpa darat pertama dengan Ronny Haryanto. Ronny tinggi besar ternyata, haha. Lain dari itu, ia adalah hacker yang udah lama kita kenal online. Dan domain ronny.haryan.to adalah inspirasi untuk mulai iseng cari domain kun.co.ro, sekian tahun lalu; selain juga pengelola agregator Planet Terasi. Tapi semua udah tahu dink.

OK, foto :

SDP 2.0

SDP (service delivery platform) sendiri masih intens kita diskusikan menjelang masa implementasi. Tapi bulan Desember lalu, IEC melontarkan istilah SDP 2.0 dalam Annual Review of Communications Volume 61. Tergoncang? Tentu tidak :). Pertama, SDP sendiri bukan standard yang perubahan versinya harus langsung diikuti migrasi sistem. Kedua, penomoran 2.0 sendiri menunjukkan sebuah ciri khas: sesuatu yang secara semi informal digerakkan dalam bentuk perbincangan (yang boleh meliputi industri dan komunitas). Tapi ihwal penomoran 2.0 ini juga yang bikin aku pingin memperbincangkan, soalnya pas dengan gagasan2 kita untuk menyusun hub atas content & aplikasi dari komunitas.

Jadi yang dinamakan SDP 2.0 adalah gagasan dari Accenture. Ia mengambil ide dari Google, Apple, dll, yang berbisnis dalam ekosistem digital. Menurut Accenture, 60% service provider memiliki lebih dari 10 partner co-design per proyek pengembangan produk. Kolaborasi ini memicu inovasi, tetapi meningkatkan resiko; kecuali jika strukturnya dibuat lebih efektif. Sebagai tambahan juga, Internet 2.0 (web 2.0, mobile 2.0, dst) telah menciptakan lingkungan yang kaya content, service, dan inovasi. Interface content terkayakan dalam dunia tiga layar: perangkat mobile, komputer, dan TV. SDP dirancang untuk mengefektifkan dan mengefisienkan segala sumber daya dan inovasi untuk kekayaan aplikasi ini. Namun divergensi yang cepat seperti ini mendorong dianggap perlunya merumuskan SDP 2.0. Framework SDP 2.0 menekankan penyusunan lingkungan pengembangan service lintas aktivitas dan teknologi di dalam ekosistem IP.

Konvergensi tiga layar mendorong setiap aplikasi untuk secara mudah tertampilkan dengan interface yang tepat di perangkat mobile, komputer, dan TV. Penekanan adalah pada layar pertama, yang lebih banyak melekat pada user setiap saat. Ini dimungkinkan oleh penyusunan platform piranti (device platform), berisi sistem operasi dan middleware, yang memungkinkan operasi multiplatform. Diantarmukai oleh itu, tersusunlah portal multikanal, tempat tertumpah kekayaan inovasi. Produksi, sharing, dan distribusi content dilakukan terpersonalisasi, dengan akses yang bersifat swalayan. Di sini juga dapat dilakukan segmentasi, agregasi, delivery media, komunikasi, dan lain2, yang dapat dioptimalkan untuk penurunan biaya. Sekarang, profit jadi dapat ditumbuhkan dari aplikasi2 yang telah saling diperkaya/memperkaya ini.

SDP 2.0 menambahkan hal2 berikut: pengelolaan user yang terpadu, pengelolaan policy yang fleksibel, dan lingkungan penciptaan service yang bersifat terbuka. Juga telah dimasukkan hal-hal seperti location-based service (LBS), mash-up, mobile widget, application presence, network presence, dll.

Accenture kemudian memberi contoh implementasi di Turkcell. Turkcell baru mengupgrade SDP-nya untuk memfasilitasi layanan seperti download musik, layanan data, dan transfer foto. Mereka mencobai pendekatan di atas, yang memungkinkan mereka bekerja lebih baik dengan penyedia aplikasi dan content. Dalam setahun, telah diluncurkan 180 layanan penghasil revenue, dari 50 penyedia aplikasi dan 53 penyedia content. Jumlah pelanggan pemakai layanan online meningkat 3000% dalam sebulan setelah peluncuran. Semua aplikasi dan content menggunakan standard IP biasa.

Konvergensi telah menjadi sahabat mereka, bukan ancaman. Yuk, kita ke sana juga :).

[Thanks, Pak Komang, atas materinya :)]

Service Delivery Platform

Konvergensi bahkan telah menjadi kata kunci sejak akhir abad lalu. Namun hingga kini, belum seluruh aspek komunikasi (network, service, content) terkonvergensi. Diharapkan sih, saat kita memasuki deployment 4G pada 2012-2015, seluruh aspek telah terpadukan, termasuk personalisasi layanan dan pervasiveness. Bertahap, dalam sesi2. Tantangan pada sesi ini adalah SDP: service delivery platform (tapi memang, ada banyak kepanjangan SDP di network engineering — huh).

IMS memberikan arsitektur yang lengkap, dari level transport data, kontrol, persinyalan, hingga service dan aplikasi. Ini adalah platform untuk next generation (mobile) network, sebagai penerus jaringan telekomunikasi masa kini. Namun di sisi lain, bersama dengan mulai diimplementasikannya IMS ini, telah tumbuh juga layanan2 Internet dengan dinamikanya sendiri: Web 2.0, multimedia streaming, IPTV. Yang terasa misalnya bahwa pembicaraan tentang 3G-mobile jadi lebih sering berfokus pada bandwidth dan resource terkait, yang bisa jalan dengan atau tanpa IMS. Terbentuk arsitektur terpadu tersendiri dalam penyampaian layanan Internet ke user. Ini kadang disebut sebagai IT-based SDP. Seolah ada dua kutub: IMS dan IT-based SDP.

Beberapa risalah di IEEE mengkaji praktek2 terbaik dari kedua macam network, termasuk percobaan untuk meramu IMS-based SDP. Hey, jangan lupa, next-generation IMS juga mendukung RTSP dan HTTP loh :). Di bawah ini salah satu arsitektur yang disarankan, untuk menyediakan SDP yang efektif untuk IT services masa kini, sekaligus comply terhadap IMS.

Layer-layer pada arsitektur SDP ini dapat dipetakan pada plane-plane IMS. Bukan hanya untuk menjamin keterpaduan layanan-layanan Internet dan NG(M)N; tetapi juga untuk memastikan bahwa deployment IMS nantinya akan langsung menapak tepat pada aplikasi yang aktif dan dinamis digunakan user saat ini, tanpa mengharuskan migrasi skala besar.

Tapi tentu, network engineering itu ilmu dan sekaligus seni. Penataan arsitektur network tak dapat diringkas dengan sebuah buku resep, setebal apa pun bukunya. Komunikasi adalah tools bagi user, dan mencerminkan dinamika user yang beraneka ragam. OK, saatnya merancang SDP untuk network & lifestyle kita sendiri :)

© 2024 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑