Tag: garuda

Penyelamatan Garuda

«Japan Air Lines akan dinyatakan bangkrut» — begitu salah satu headline pagi ini. Dan aku mendadak ingat bahwa Garuda Indonesia pernah mengalami kisah yang sama. Cerita tentang Garuda ini cukup lama, tetapi baru diceritakan kembali beberapa bulan lalu oleh Tanri Abeng. Beliau berkisah bukan sebagai Komisaris Utama Telkom, tetapi sebagai salah satu Management Guru di Telkom. Pasti kisah di bawah ini sudah banyak didengar rekan2 Telkom lainnya.

Di paruh kedua tahun 1990an, Bank Dunia maupun IMF terus mendorong agar pemerintah2 bertindak sebagai regulator, bukan sebagai pemain bisnis. Pemerintah Indonesia mereaksi dengan membentuk departemen yang terpisah antara regulasi dan pengelolaan BUMN. Maka dibentuklah Kementerian Negara Pendayagunaan BUMN. Tugasnya adalah untuk mengelola BUMN yang saat itu memang kebanyakan salah urus di bawah departemen2 teknis. Tanri Abeng diangkat sebagai Menneg BUMN pertama. Cukup menarik cara Tanri berkisah tentang masuknya ia ke pemerintahan, beberapa kali berdialog dengan Soeharto. Komunikasi canggung ala Soeharto dan para punggawanya membuat Tanri memahami bagaimana Soeharto mengendalikan sistem pemerintahan orde baru di balik layar, hahah. Tapi itu cerita lain. Kita ke Garuda dulu.

Merapi dan GarudaSeperti JAL tahun ini, Garuda masa itu menghadapi ancaman kebangkrutan. Hutang2 jatuh tempo, dan pemerintah tidak dalam kondisi kuat untuk menjadi backup. Kondisi Garuda sendiri memang menyebalkan: banyak benalu, baik dari kalangan cendana, keluarga mantan direksi, maupun pihak lain yang tidak jelas. Tanri merasa bahwa Garuda hanya bisa diselamatkan jika orang mulai menaruh kepercayaan kepada Garuda. Dan itu dimulai dengan menunjukkan bahwa pemerintah serius mengubah sistem yang ada di Garuda. Memberanikan diri datang ke Soeharto, Tanri mohon izin untuk mengganti Dirut Garuda. Lalu ia diam. Zaman orba itu, pejabat ditunjuk atau direstui langsung oleh Soeharto, dan tak pernah diganti kecuali ia bersalah kepada Soeharto. Mengganti pejabat seolah menunjukkan bahwa presiden bisa salah memilih orang, atau tepatnya bahwa presiden bisa salah :). Itu memang zaman kitsch :). Tapi setelah saling diam, Soeharto cuma tersenyum, lalu mengatakan, “Kenapa cuma Dirut? Ganti saja semua direksi.” Satu masalah terpecahkan.

Masalah lain adalah memilih Dirut. Ini keadaan darurat, karena para kreditor besar benar2 sudah mengancam membangkrutkan Garuda. Pada saat seperti ini, yang diperlukan bukanlah profesional di bidang penerbangan. Maka Tanri mendatangi Robby Djohan. Ini adalah tokoh yang pernah membesarkan Bank Niaga (dari nothing menjadi bank swasta kedua terbesar di Indonesia), plus memiliki reputasi yang kuat di kalangan internasional. Dan orang yang tepat memegang sebuah posisi memang adalah orang yang tak memerlukan posisi itu. “Kenapa suruh saya?” balas Robby waktu diminta Tanri, “Saya tidak butuh uang dan pekerjaan.” Tanri menjelaskan bahwa ia memang memerlukan orang yang tidak memerlukan uang. Maka Robby diamanahi menjadi Dirut Garuda.

Robby pun mengundang para kreditor. Pada rapat pertama, ia membuka, “Saya diberi wewenang untuk membantu Anda.” Para kreditor marah. “Yang punya masalah itu Anda. Kami dalam posisi kuat,” kata para kreditor. Robby masih kalem, menjawab, “Kalau negosiasi hari ini tidak berhasil, saya langsung angkat tangan, dan Garuda dibangkrutkan, dan tak ada yang menjamin uang Anda.” Para kreditor langsung paham. Robby mengenang kembali, “Negative networth gila-gilaan, sebab utang (liabilities) jauh lebih besar dibanding harta (asset), sehingga saldonya negatif. Bottom line sudah merah, begitu juga saldo ditahan (retained earning) juga telah negatif.” Ia membacanya seperti seorang bankir: “Kalau kita revaluasi asset sesuai market, maka negative networth akan menjadi kecil. Yang penting, dia noncash-charge, dan negative networth akibat akumulasi kerugian bisa diatasi. Yang perlu dijaga, Garuda tidak boleh rugi, cash flow harus positif. Selain itu, juga harus dijaga posisi serasi antara asset dalam rupiah serta liability dalam dollar AS.” Maka negosiasi intensif untuk penjadwalan hutang dan profitisasi Garuda dimulai. Benalu2 dibersihkan, kepercayaan dibangkitkan, efisiensi ditingkatkan. Pada masa Robby ini juga Kantor Pusat mulai dipindahkan ke wilayah Bandara Soekarno Hatta. Garuda terselamatkan, dan mulai bisa bangkit.

Sayangnya, tak lama Robby di Garuda. Menurut Tanri, memang sengaja Robby tidak dibiarkan lama di sana. Begitu Garuda agak pulih, kendali direksi diserahkan ke pihak lain yang memiliki kesempatan lebih besar untuk melakukan pekerjaan2 detail dan komprehensif. Sementara itu, Robby sendiri diberi pekerjaan baru yang lebih berat: mengawal merger bank2 BUMN menjadi Bank Mandiri.

Catatan: Seluruh kata2 di atas dinarasikan ulang dan tidak dapat dikutip ulang untuk keperluan jurnalistik atau ilmiah.

Garuda Indonesia

Sebagai majalah engineer yang UK-centric, E&T agak jarang menyebut Indonesia. Sempat dulu tiap triwulan nama Indonesia disebut, tapi dengan tema yang sama: Uni Eropa memperpanjang blokir atas penerbangan Indonesia, plus alasan panjang bahwa keseluruhan sistem penerbangan Indonesia dikendalikan oleh birokrasi yang korup dan asal2an. Entah kemana menhub masa itu sekarang. Pemicunya memang Adam Air — penerbangan milik pengusaha merangkap penguasa dan golkar. Syukur akhirnya blokir dicabut. E&T tak lupa menulis soal itu, biarpun tentu didahului oleh media2 di Indonesia. Garuda Indonesia dan Mandala boleh menerbangi dan melandas di Eropa. Pada saat yang berdekatan, Garuda juga mengumumkan perubahan style perusahaan. Logo lama, dengan tata huruf baru, dan desain2 baru yang lebih segar.

Garuda-Indonesia

Pada saat amat berdekatan, Citibank mengirimiku SMS, menawarkan upgrade Citibank Mastercard ke Citibank Platinum Garuda. Sebagai pecinta BUMN ;), aku langsung tertarik, dan langsung call ke Citibank sekitar 3 minggu kemudian. Waktu aku menjejakkan kaki di Bali (turun dari Garuda), pihak Garuda menelefonku untuk interview pengajuan GFF (Garuda Frequest Flyer) yang dipadukan kartu Citibank. Sekaligus Neng Garuda menanyai kapan aku terakhir naik Garuda, buat tambah point GFF. Dia langsung cek ke database, dan minta maaf bahwa penerbangan pagi itu yang a.n. grup tidak bisa dimasukkan. EGP :). Tak lama di Jakarta, kartu GFF biru masuk ke kotak pos. Lalu kartu Citibank Garuda dengan nomor GFF lain yang menggantikan si kartu biru.

Kartu ini nggak aneh, selain bisa buat nabung point buat lain hari bisa terbang gratis. Juga bikit kita bisa memilih antrian pendek waktu check in. Dan ia jadi pass masuk ke banyak airport lounge, yang sering terpakai karena kemacetan di negeri ini sudah mulai teratasi sehingga aku sering kepagian ke airport. Tapi tanpa kartu ini pun, Garuda memang menarik. Agen resmi Garuda ada di sebelah kantorku. Kalau kita beli tiket di sana, memilih tanggal dan jam, si agen langsung memberikan harga. Tapi ia juga memberikan alternatif jam lain yang harganya lebih murah, sekaligus harga termurah pada hari itu. Penerbangan semacam Air Asia tak mendidik agennya memiliki kebaikan hati semacam itu.

Oh ya. Aku menulis ini di atas Garuda yang lain, dalam penerbangan ke Bali lagi. Sekitar minggu lalu, Garuda mengirimkan laporan jumlah point GFF. Cukup cepat naiknya point-ku. Padahal aku nggak selalu menggunakan Garuda. Dan perjalanan ke Bali sebelumnya, yang dibeli via grup, ternyata dimasukkan juga point-nya ke total point GFF-ku.

Garuda-Indonesia

Beberapa hal unik di Garuda. Aku nggak berharap mereka baca blog ini sih, haha :).

  • Kita bisa ke web Garuda Indonesia untuk memilih jadwal penerbangan. Tapi kalau kita sudah menentukan pilihan, jika tak terlalu terdesak, jangan bertransaksi di web. Pergi saja ke agen resmi. Aku beruntung, bisa cukup jalan kaki ke agen sebelah kantor. Di sana, mereka bisa memberi harga lebih murah daripada transaksi di web. LEbih dari itu, kadang ada diskon kejutan. Misalnya waktu beli tiket ke Batam, aku sempat tanya, “Ada diskon untuk Citibank Garuda?” dan setelah membaca2 tumpukan kertas, si neng agen dengan ceria memaklumatkan bahwa aku boleh mendapatkan diskon 15%. Not bad.
  • Pun kalau masih mau beli di web, bandingkan dulu harga tiket pulang-pergi dengan jumlah harga tiket satu jalan ke arah pergi dan ke arah pulang. Beberapa kali, harga tiket pulang-pergi justru lebih mahal, pada waktu yang sama.
  • Dibandingkan low-fare airlines, tentu Garuda memang lebih mahal. Significantly :D. Namun pada hari2 tertentu, seperti menjelang Idul Fitri lalu, atau menjelang 1 Syura di Yogya seperti weekend ini, harga tiket Garuda tak terlalu melonjak, sehingga selisihnya dengan low-fare seperti Air Asia bisa hanya belasan ribu saja.

Pilot memberikan isyarat pendek. Sebentar lagi pesawat bersiap melandas. Semua perangkat elektronik harus dimatikan. Tentu, tulisan ini baru akan dipublish di darat nanti. Dan sekaligus barangkali aku mau coba2 diskon dll yang ditawarkan, hanya dengan menggunakan boarding pass Garuda. Banyak yang menarik di Bali :).

BTW, sayang sekali account twitter @GarudaIndonesia tak dimanfaatkan maksimal.

Update:

  • E&T minggu ini memuat lagi tentang Indonesia, yaitu tentang proyek Palapa Ring.
  • Pernah merasai pesawat yang bisa tanpa jeda sedikitpun, dari taxi langsung take off? Garuda Denpasar-Jakarta yang aku tumpangi menunjukkan bahwa itu bisa :).

© 2024 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑