Padahal kata labirin lebih mengingatkanku pada satu sesi dari serial The New Avengers. Tapi, Jorge Luis Borges, penulis dunia itu (kurasa tak perlu di waktu ini menulis, misalnya, ‘penulis Argentina’) gemar sekali dengan labirin dan pelbagai variasinya.

Borges kukenal pertama kali dari salah satu edisi awal Jurnal Kalam (yang dulu terasa mahal sekali). Cerpennya berjudul Tlön, Uqbar, dan Orbis Tertius. Terasa luar biasa, ia langsung tertamatkan, terbaca lagi. Melintas waktu, sempat ia terdiskusikan — di mail ke Nita, dan di mail ke salah satu mail group di Isnet. Di masa ini, cerpen ini mudah digoogle, dan kajiannya bisa dilirik di kepustakaan wiki. Bentuknya sastra fantasi, bermain dengan ekstrapolasi atas idealisme Berkeley. Stylenya, duh, menggabungkan antara yang real (menggunakan beberapa tokoh, termasuk Borges, penulis Bioy Casares dan Schulz Solari; juga mengupas pandangan Berkeley, Hume, Meinong, dll), yang fiktif (tokoh Herbert Ashe), dan yang fiktif (di dalam kefiktifan cerita itu, ia pun fiktif, seperti negeri Uqbar sendiri dan berbagai budaya, bahasa, dan pandangan hidupnya). Yang lebih menjengkelkan, gayanya betul-betul dibuat seperti reportase non fiksi. Misalnya, ia menambahkan satu bagian yang dimulai seperti ini: “Postskriptum (1947). Artikel di atas saya tampilkan sebagaimana aslinya, seperti termuat dalam Antologi Sastra Fantasi (1940).” Postskriptum fiktif :). Ini semua adalah cerpen yang diterbitkan tahun 1940; termasuk postskriptum bertahun 1947 itu :). Btw, Tlön sendiri adalah ruang hidup dimana bangsa di dalamnya berpandangan idealis tulen, sehingga bahasa dan turunannya (agama, sastra, metafisika) semua berlandas idealisme. Dunia bukanlah sekumpulan obyek dalam ruang, melainkan rentetan tindakan mandiri. Semuanya temporal, bukan spasial. Judul entry blog ini adalah contoh satu kalimat dari salah satu dialek Tlön yang berarti “ke atas dari balik yang mengalir tersebut beranjak membulan.”

LKIS sempat menerbitkan kumpulan terjemahan cerpen Borges, dengan judul Labirin Impian (1999). Nirwan Dewanto menulis pengantar terjemahan itu. Di dalamnya kita bisa melihat evolusi pola permainan Borges. Beberapa cerita agak mirip. Kisah labirin “Ibn Hakkan al-Bokhari”  dan kisah “Bentuk Pedang” bercerita tentang pengkhianat yang melintas negeri yang jauh (dari Arab ke Inggris di cerita pertama, dari Irlandia ke Brasil di cerita kedua); dengan penceritaan yang secara mengejutkan mendadak mengubah obyek menjadi subyek. Entah kenapa aku jadi ingat Agatha Christie (di mana tokoh kriminal bisa anak kecil [Josephine], polisi [Three Blind Mice], atau semua orang [Orient Express], atau aku [Roger Ackroyd]).

Kisah Funes si Pengingat mengingatkan aku (aku tidak boleh menggunakan kata ini: ingat) akan diskusi di Isnet juga; bahwa manusia mengenal simbol, sementara malaikat tidak — maka manusia lebih mulia. Funes ini jadi contoh Borges untuk itu. Setelah sebuah kecelakaan, otaknya bekerja tanpa simbol: ia mengingat semua hal. Seluruh angka dipahaminya tanpa penyederhanaan ratusan, puluhan, satuan. John Locke pernah mencoba membayangkan (dan menolak) bahwa setiap benda, batu, burung, bisa punya nama tersendiri. Ia menolaknya karena terlalu rumit. Funes, di lain pihak, menolaknya karena terlalu general. Anjing pada pukul 3:14 (tampak dari depan) haruslah dinyatakan berbeda dengan anjing (yang sama) dilihat pada 3:15 (dilihat dari samping). Tapi, untuk membuatnya makin seru, bayangkan bahwa pikiran dan ingatan kita sendiri pada itu kemudian haruslah memiliki pernyataan yang berbeda.

Sekarang tentang Tuhan. Kisah Mukjizat Rahasia menceritakan seorang penulis Ceska yang dihukum mati tentara Jerman, seminggu setelah disidang. Selama seminggu ia merasakan dari frustrasi, apatis, dan pada hari terakhir ia membuang pikirannya dengan merancang sebuah plot cerita. Ia berusaha menyempurnakan plot itu. Lalu ia bermohon kepada Tuhan, bahwa “Kalau benar aku ada, bukan sekedar kekeliruan plot-Mu, aku minta waktu setahun untuk memperbaiki dramaku.” Pagi harinya, pukul 9:00 (orang Jerman harus tepat waktu), ia disiapkan di depan tembok (seperti kerepotan orang mau bikin foto), lalu pasukan disiapkan, peluru ditembakkan; lalu waktu berhenti … selama setahun … hingga tokoh kita dapat menyelesaikan dramanya di dalam hati, secara lengkap, plus melakukan koreksi lengkap hingga sempurna. Saat drama itu selesai, waktu berjalan kembali, dan matilah sang pengarang.

Tapi satu cerita sebelumnya, “Tulisan Tangan Tuhan” sering kusadur waktu membahas tentang dunia para sufi (zaman dulu), justru berkomplemen (dan karenanya identik). Kisahnya tentang ahli sihir piramida Qaholom yang telah dibumihanguskan pasukan Pedro de Alvarado. Disiksa, dinista, dikurung, ia menghabiskan waktu mengingat dan memperdalam ajaran tradisinya — semuanya didalam hati. Ia merasakan penyatuan semesta, dan segala keindahannya. Ia merasakan kekuatan semesta dengan itu bangkit. Ia menjadi kuat. Ia menjadi sang maha perkasa. Kata-katanya sanggup untuk menghancurkan kembali musuh-musuhnya, dan menegakkan kembali kerajaannya. Tapi .. tapi … pada saat itu, segalanya tak penting lagi baginya. Barang siapa telah memahami rancang bangun semesta dan keindahannya, tak lagi harus memilih siapa yang harus naik dan turun dalam hidup fana manusia. Ia membiarkan hari-hari mengakhiri hidupnya.