Selain kasus Goto, kasus Bukalapak adalah potret nyata bagaimana euforia valuasi dan narasi politik dapat menutupi kelemahan mendasar dalam bisnis digital. IPO Bukalapak pada 6 Agustus 2021 dielu-elukan sebagai tonggak bersejarah, dengan nilai penghimpunan dana sekitar Rp 21,9 triliun (sekitar 1,5 miliar dolar AS) dan valuasi perusahaan lebih dari Rp 85 triliun (sekitar 6 miliar dolar AS). Bukalapak menjadi unicorn pertama yang melantai di Bursa Efek Indonesia. Pemerintah Indonesia gegap gempita mengklaim momentum ini sebagai simbol transformasi digital nasional, bahkan menempatkannya sejajar dengan kebangkitan ekonomi digital Indonesia. Namun, di balik gegap gempita, terdapat kelemahan struktural yang sejak lama dirasakan langsung oleh pengguna layanan.

Dari perspektif pengalaman pengguna, Bukalapak dikenal sangat lemah. Antarmuka aplikasi terasa ketinggalan dibandingkan Tokopedia atau Shopee, dengan navigasi yang membingungkan dan performa yang tidak mulus. Layanan pelanggan juga kerap dikeluhkan: respons lambat, solusi minim, dan sering kali tidak menyelesaikan masalah dengan tuntas. Kualitas serta keaslian produk menjadi issue: banyak barang palsu atau rusak, dan ketersediaan stok sering meleset dari kenyataan. Mekanisme penyelesaian sengketa antara penjual dan pembeli berjalan lambat dan sering tidak berpihak kepada konsumen. Semua ini memperkuat persepsi bahwa Bukalapak kalah jauh dalam membangun kepercayaan pengguna.
Dari sisi bisnis, kelemahan pengalaman pengguna itu berakibat langsung: pangsa pasar Bukalapak terkikis oleh Tokopedia dan Shopee. Perusahaan mencoba bertahan dengan strategi “mitra warung” sebagai diferensiasi, tetapi strategi itu tidak cukup untuk menutup kerugian dari model marketplace utamanya. Pasca IPO, saham Bukalapak (kode emiten BUKA) yang ditawarkan dengan harga Rp 850 per lembar sempat melonjak sebentar, tetapi kemudian anjlok hingga berada di kisaran Rp 200–250 dalam dua tahun berikutnya. Artinya, nilai pasar Bukalapak yang semula lebih dari Rp 85 triliun tergerus menjadi hanya sekitar Rp 20–25 triliun. Investor publik yang membeli di harga penawaran perdana menanggung kerugian mendalam.
Muncul pertanyaan: mengapa IPO tetap dipaksakan dengan valuasi setinggi itu, padahal kelemahan Bukalapak sudah jelas terlihat? Jawabannya terletak pada narasi besar yang dibangun. Bukalapak dicitrakan sebagai champion lokal untuk melawan dominasi pemain asing. Bank penjamin emisi, investor institusi, regulator, dan pemerintah bersama-sama mengemas IPO ini sebagai proyek kebanggaan nasional. Selama prospektus mencantumkan fakta kerugian dan risiko, maka IPO dianggap sah secara hukum, meskipun valuasi yang dipublikasikan sangat jauh dari kenyataan. Yang terjadi adalah semacam pemalsuan data yang didukung melalui mobilisasi narasi politik dan ekonomi untuk menopang valuasi yang pada akhirnya rapuh.
Faktor politik memperkuat dimensi kasus ini. IPO Bukalapak dipakai sebagai simbol keberhasilan transformasi digital, dan beberapa tokoh yang berhubungan dengan perusahaan maupun proses IPO yang janggal ini kemudian justru dihadiahi dengan berbagai posisi strategis di BUMN maupun pemerintahan. IPO tidak lagi murni aksi korporasi, melainkan proyek politik yang dikemas dalam retorika kebanggaan nasional.
Pasar pada akhirnya tidak bisa ditipu. Dari valuasi lebih dari Rp 85 triliun pada saat IPO, kini nilai pasar Bukalapak merosot ke seperempatnya. Investor publik pada akhirnya kembali menjadi korban, membayar mahal untuk sebuah simbol patriotisme ekonomi yang tidak didukung fundamental bisnis. Tidak ada itikad untuk membuktikan pemalsuan data material di dalamnya, sehingga tidak dapat dikategorikan kriminal. Tetapi jelas terdapat jurang antara narasi IPO yang didengungkan dan realitas di lapangan. IPO Bukalapak menjadi pelajaran pahit bahwa pasar modal dapat dijadikan panggung simbolik yang sangat mengabaikan profesionalisme dan etika, sementara pengguna dan investor publiklah yang menanggung akibat dari kelemahan struktural yang sejak awal tidak pernah dibenahi.