Page 75 of 210

Ed Witten

Kita ketahui, skala string dan teori2 selanjutnya, seluruhnya di bawah skala Planck, yang artinya nyaris tak mungkin teramati secara fisik. Aneh juga bahwa namanya masih ‘fisika’ :). Biasanya namanya baru jadi fisika kalau si konsep sudah terinstansiasi jadi obyek :). Ed Witten sendiri tidak memperoleh hadiah Nobel, tetapi medali Fields, yang konon lebih bergengsi bagi para matematikawan.

Jadi Ed Witten itu fisikawan atau matematikawan? Buat bikin kita keki, sebenernya dia mengambil major di sejarah. Fisika cuman jadi minor? Lebih bikin keki lagi: dia nggak ambil kuliah fisika — fisika itu cuman hobby.

Si makhluk ajaib ini, di konferensi teori string 1995, menyampaikan bahwa teori2 string yang sedemikian banyaknya itu tidak saling bertentangan. Dia menunjukkan bahwa semua teori itu adalah sebuah pendekatan dari sebuah teori yang lebih besar, yang sekarang dinamai “Teori-M”. Hadirin yang umumnya fisikawan, heboh. Pembicara berikutnya, Nathan Seiberg, begitu kacaunya, dan cuma berucap, “Seharusnya saya jadi spoir truk saja.”

John Schwarz

Tahun 1981, John Schwarz disapa Richard Feynman: “Hai. Berapa dimensi kamu hari ini?” Bahwa Feynman tukang melucu, kita sudah dipaksa hafal. Bahwa Schwarz selalu jadi bahan ejekan, itu juga wajar: teori string yang dikembangkannya, sampai saat itu, tidak pernah mencapai bentuk agak final. Komplikasi matematika yang dibentuknya membuat para ahli string (kemudian dinamai superstring, setelah dipadukan dengan teori supersimetri) tidak pernah sepakat dengan jumlah dimensi yang ada — dan perubahan itu bersifat harian pula.

Schwarz tadinya satu2nya ilmuwan yang menseriusi teori string. Satu lagi sudah bunuh diri akibat krisis multidimensi (percayalah). Dua orang itu tadinya dikoleksi Murray GellMann sebagai barang unik di Caltech.

Tapi seperti Newton yang menyusun fundamental fisika dengan menemukan matematika baru bernama kalkulus (setelah Leibniz maksudnya), atau Einstein yang menyusun fundamental baru dengan menggunakan matematika baru rekaan Riemann, ternyata teori superstring juga harus disusun dengan matematika model baru. Einstein memang beruntung, soalnya tulisan Riemann sempat jadi acuan Einstein (atas jasa baik Marcel Grossmann, sohibnya). Tapi Schwaz tidak punya acuan itu, sampai suatu hari si pencipta matematika baru itu lah yang bergabung dengan para fisikawan supersting. Namanya Edward Witten.

Berani Minta Maaf

Omong2, hari Jumat malam kemaren, aku ketemu sang Boss SDM di stasion. Pakai kaos dan celana Bermuda. Barengan nungguin kereta Parahyangan terakhir, deket2 midnight gitu. Jam segitu Sandro Café udah tutup, jadi akhirnya kita berkonferensi sambil berdiri aja, sambil lirik2 kali2 ada wiraswastawan yang iseng jualan kopi.

Kira2, ada kemungkinan beliau atau the child-fruit baca web ini nggak ya :). Tapi kalaupun ada, percayalah: nggak ada info rahasia yang dibicarakan dalam konferensi itu. Banyak hal2 yang menarik dan nggak perlu menyangkut hal2 rahasia kok.

Aku sebenernya respect sama boss yang satu ini. Beberapa bulan yang lalu, beliau pernah minta maaf, atas nama departemen, dan pendahulunya, ke aku. Mana pernah sih ada boss lain yang minta maaf.

Aku sendiri, berani nggak untuk minta maaf?

John Bardeen

John Bardeen, memperoleh dua Nobel: satu dari semikonduktor dan satu dari superkonduktor. Mahasiswa elektro dan hobiis elektronika umumnya mengenal nama ini sebagai penemu transistor, bersama rekannya, Walter Brattain, dan bosnya yang pingin ikut nimbrung, William Shockley. Shockley belajar mekanika kuantum di Princeton, lalu memanfaatkan ilmunya untuk meneliti efek semikonduktivitas di Bell Labs, dan menemukan transistor tahun 1948. Pada hari itu, ia pulang, menemui istrinya di rumah, dan cuma berkata, “We discovered something today,” lalu mulai makan malam. Tahun 1956, dia sedang mengocok telur waktu mendengar berita di radio bahwa dia memperoleh hadiah Nobel.

Bardeen meneruskan karir di Univ Illinois, mengutak atik efek superkonduktivitas. Setelah memahami fenomena itu, dia bergegas keluar lab, menemui rekannya, Slichter, diam sejenak, lalu berkata, “I think we’ve explained superconductivity.” Terus diam lagi, seolah2 itu bukan soal besar. Nobel kedua diperoleh dari penjelasan ini.

Selain sains, Bardeen juga suka golf. Tapi sifat diamnya terus dibawa di lapangan golf. Seorang rekan yang bertahun-tahun bermain gold bersama, suatu hari tidak bisa menahan diri untuk bertanya, “Sebetulnya pekerjaan kamu apa sih?” Siapa sih yang mampu menerima dua hadiah Nobel dan tidak pernah menceritakan ke rekannya sendiri?

Degradasi ala GM

Aku nggak langganan Tempo. Atau majalah berita lain. Udah nggak tau di mana kertas2 harus disimpan di rumah. Jadi aku cuma sempat baca Tempo kalo lagi duduk di kereta, dan ditawari menyewa majalah.

Goenawan Mohammad nulis soal degradasi sebuah bangsa. Dan para pemimpinnya. Dulu kita punya pemimpin macam Boeng Karno yang mampu menuliskan pikirannya dengan apik, tulis GM. Sekarang kita nggak tau apa Megawati bisa menulis, atau bisa berpikir. Dulu kita punya Boeng Hatta, si cendekiawan yang tidak mau menikah sebelum Indonesia merdeka. Sekarang kita punya Hamzah Haz. Lucu juga bagian Hamzah Haz ini — sampai GM speechless gitu :).

Tapi degradasi macam ini tidak cuma terjadi di Indonesia. Dulu US punya Thomas Jefferson, yang bukan saja jadi pahlawan Amerika, tapi juga jadi cendekiawan dunia. Sekarang mereka cuma punya Geoge W Bush, yang pikirannya terbatas, dan kosakatanya juga terbatas. Dan Schwarzenegger mau jadi gubernur California.

Dulu … eh udah ah. Ini catatan aku, bukan catatan GM.

Café Embargo

Ada café baru dibuka, btw. Namanya Embargo. Lumayan buat tempat melemaskan kaki kalau terjebak hujan deras di BSM, sambil meracuni darah dengan expresso atau machiatto. Atau perlu diembargo?

Lt 3

Udah balik di Supratman. Masih di Lt-3, dengan iringan Der Ring Des Nibelungen yang itu2 juga.

Kadang aku pikir Wagner sama kuatnya menggigit otak, kayak secangkir expresso.

Ilusi, Dawkins, Maslow

Dan waktu matahari tenggelam, orang-orang Sisfo udah memenuhi Hotel Panghegar. Kali ini kali terakhir aku ketemu dengan orang2 Sisfo Divre-3 sebanyak itu. Beda dengan orang Network, orang2 Sisfo lebih sering menunjukkan karakteristik sebagai agregat daripada sebagai group, biarpun proyek2 si Sisfo lebih saling berkait satu sama lain daripada misalnya proyek2 di Network. Abis setahun di sana, aku belum nemu juga penyebabnya. Aku buta, atau memang sengaja membutakan diri.

Apalagi minggu2 ini daya analisisku lagi terkacaukan oleh tesis Selfish Gene dari Dawkins :). Aku bukannya memakai analisisnya dia, tapi jadi cenderung membayangkan setiap perilaku makhluk dari dua sisi sekaligus: Dawkinian dan Maslovian.

Haha :), abis sekian tahun, aku masih lebih suka memakai madzab Maslow untuk menyusun framework atas kemanusiaan, khususnya tentang B-value. Tapi sialnya pikiranku sekarang jadi kena dualitas: berpikir dalam dua kerangka sekaligus. Ini nggak aneh sebenernya, soalnya aku belum bener2 mendepak kata2 Bohr, bahwa kalau dua statement (atau apa pun) berlawanan, bukan berarti salah satu harus salah.

Eh, tapi jujur aja, aku lebih seneng Dawkins yang salah, terpeleset, tertipu. Dia banyak pakai analogi. Ya .. ini benar … itu benar … konsekuensinya seperti ini. Keyword semacam konsekuensi itu yang aku bayangin sering bikin orang terpeleset.

Tapi sebenernya aku lagi cerita tentang Sisfo. Jadi malam ini mereka melepas orang2 yang harus dilepas dari Sisfo, termasuk aku. Dan kita bikin kelompok Ikatan Alumni Sisfo (a.k.a. ILUSI — sesuai dengan visinya yang penuh ilusi). Trus kita becanda2 dengan suasana kesisfoan yang ajaib dan sekaligus gamang itu. Dan aku bener2 pingin secangkir kopi abis makan malam.

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorenUp ↑