Page 70 of 210

TEUB

Beberapa hari terakhir ini, website ini dikunjungi para tamu istimewa: angkatan “10 tahun kemudian” dari Teknik Elektro Unibraw. Wuih, iki 2004 rek — taon 1994 aku wis lulus. Yang paling banyak dari Lab Elektronika. Kayaknya sebelum ngasih kehidupan yang sekarang, NSA lupa menghapus data-data lama aku sebagai asisten di Lab Elektronika, jadi aku masih bisa ditrace. Ya udah deh, terima nasib :). *set mode paranoid=on*

Gimana tuh ceritanya aku masuk Lab Elka?

Ceritanya, aku lagi doyan main2 mikroprosesor. Di Lab Elka? Ya nggak. Di Lab Mikroprosesor. Orang dengan ukuran sekecil aku memang pantesnya nyuruh2 makhluk hidup yang lebih kecil, dan yang lebih kecil dari aku cuman chips. Di situ tiap hari aku ketemu Pak Bambang Siswojo, yang lagi asik main2 PLC, pakai bahasa Prolog (Anda nggak salah baca). Di sebelahnya, ada bahan riset punya aku, Ziggyt, dan Hakim, yang aku program pakai C. Turbo C versi 2 — kompiler terbaik sebelum C++.

Trus suatu hari Pak Bambang nawarin aku: «Udah siap jadi asisten, dik?» Aku tanya dulu: «Di sini, Pak?» (soalnya sebagai mahasiswa tahun kedua, aku secara resmi belum ikut praktikum mikroprosesor). Nggak pakai senyum, Pak Bambang menjawab «Ya nggak. Di Lab Elka.» Ya udah. Jadi deh. Bareng sama Ziggyt.

Hey, ini jadi asisten di Lab Elka itu kebanggaan lho. Memang, kalau di kuping, Lab Mikroprosesor atau Telekomunikasi atau Kontrol itu lebih gagah. Tapi *set mode megalomaniak=on*, mahasiswa yang diakui pantas jadi asisten udah keburu direkrut di usia muda di Lab RL dan kemudian Lab Elka, bahkan sebelum mereka ikut praktikum di lab-lab lainnya.

Trus ngapain? Ya itu lah. Nyolder diode, transistor, dan benda2 nggak presisi yang dibeli di pasar besar. Sengaja dicari di sana sih *set mode bohong=on*, soalnya para praktikan selalu nulis di bagian kesimpulan: «Selisih dengan hasil perhitungan diakibatkan oleh alat-alat yang kurang presisi». Take it easy. Semester berikutnya, dua kontainer gede dari Jerman bawa alat2 lab yang baru dan cakep dan bikin betah ngetem di lab.

75th Tintin

«Sebenarnya … musuh terbesarku adalah Tintin» — Jendral Charles de Gaulle.
Selamat ulang tahun, Tintin, pengelana hampir semua benua (kecuali Antartika) sampai ke bulan. Mudah2an kamu masih bisa menyemangati anak-anak zaman ini untuk bisa jadi pengelana antar benua juga, minus tembakan, bom, dan dan penculikan.

Dimes Logical Counting

Tadinya ada dua standar menghitung bilangan di atas satu miliar. Tadinya? Iya, sekarang konon malah jadi ada tiga.

Metode Amerika-Perancis, yang kayaknya juga dianut Indonesia, menghitung bilangan perseribuan. Satu miliar (atau satu bilyun) adalah seribu juta. Satu trilyun adalah seribu miliar. Satu kuadrilyun adalah seribu trilyun.

Di Inggris dan negara Eropa lainnya (selain Perancis maksudnya), hitungan dilakukan persejutaan. Satu bilyun itu sejuta juta. Satu trilyun itu sejuta bilyun. Satu kuadrilyun itu sejuta trilyun.

Nah, ternyata ada satu metode lagi, yang dinamakan Dimes Logical Counting (DLC). Kayak apa tuh? Lebih heboh, soalnya pakai deret ukur. Pertama, dia niru sistem Inggris: satu bilyun itu satu juta juta. Kemudian kehebohan dimulai: satu trilyun adalah satu bilyun bilyun, dan satu kuadrilyun adalah satu trilyun trilyun. Jadi DLC mengenal angka misalnya tiga bilyun trilyun.

Kosa kata yang dipakai ketiga sistem itu sama: juta, bilyun, trilyun, kuadrilyun, kuintilyul, sekstilyun, septilyun, oktilyun, nonilyun, desilyun. Di Perancis, satu desilyun punya 32 angka 0. Di Inggris dia punya 60 angka 0. Dan menurut DLC, dia punya 3072 angka 0.

John Barrow

Any universe simple enough to be understood is too simple to produce a mind able to understand it.
(Astrophysicist John Barrow of Cambridge, quoted in The Wall Street Journal)

Young Scientists

Nigel Calder menuding terang-terangan: gambaran Einstein di Time sebagai man of the century itu menyesatkan dan memalukan. Einstein digambarkan sebagai orang tua yang ramah, berambut kusut penuh uban, berbaju lusuh sekenanya. Padahal sang fisikawan yang menggoncangkan dunia hampir 100 tahun yang lalu itu, dan goncangannya masih terasa sekarang, adalah seorang pemuda, tegap, sok tahu, rada congkak. Yup, Einstein muda lah yang dalam satu tahun mempelopori fisika kuantum (dengan efek fotoelektrik), relativitas (yang disusul dengan teori gravitasi baru), sampai gerak Brown.

Tentu tidak ada yang salah dengan bertambah usia, asal kita tidak menjadi tua. Menjadi tua, pikiran kita dihantui oleh pengalaman yang terus bertambah, pengetahuan yang bertambah rumit bercecabang, sehingga hilanglah keberanian meneriakkan pembaharuan dengan lantang, lancang, dan sok tahu, dan hilanglah peluang untuk membuat revolusi baru.

Einstein tua adalah seorang tua. Bermusuhan dengan teori kuantum. Bikin konstanta kosmologi yang membuat orang mengabaikan fakta semesta mengembang. Dan cuma jadi dewa penjawab yang serba bijak, bukan jadi pembaharu lagi.

Juga Newton. Si anak durhaka yang lekas jadi tua. Newton, siapa yang pernah mau dengar omongan pemuda tanggung itu, yang nggak pernah jelas apa yang jadi fokusnya? Tapi ada yang mau dengar. Isaac Barrow, orang tua yang benar-benar bijak, yang benar-benar mau meninggalkan posisi keprofesoran mewahnya di Cambridge untuk memberi tempat bagi si pemuda tanggung yang baru beberapa bulan lulus, dan memungkinkannya untuk membuat revolusi fisika (mekanika, optika, kalkulus, gravitasi, dll). Sayangnya Newton tua tidak mengikuti teladan yang baik ini :).

Jurnal ini bukan tipe jurnal yang bisa nulis kalimat semacam “Jadi orang-orang tua, kalau kalian benar-benar punya kebijaksanaan, mundurlah dan beri kesempatan pada orang-orang muda.” Tidak menarik untuk memilih jalan hidup yang menunggu kesempatan yang diberikan orang. Tidak harus jadi Newton muda. Jadilah Einstein muda yang bisa bikin revolusi biarpun dari bagian dunia yang sunyi dan nyaris tak terdengar. Maju tanpa menunggu.

Dan kelak mundurlah tanpa menunggu.

Setan dan Cendekiawan

Oleh2 kunjungan dari geocities.com/cholis_penggerutu:

Suatu pagi Abdul Qadir Jailani masih terlelap sewaktu saat salat subuh tiba. Seekor kucing melompat ke sisinya dan mengusiknya hingga ia terbangun. Menyadari keterlambatannya, Abdul Qadir cepat-cepat menunaikan salat.

Selesai salat, ia memandang kucing itu. Berkat ketajaman spiritualnya, ia melihat bahwa kucing itu sesungguhnya adalah setan. Kenyataan ini membuat orang suci itu tak habis mengerti. Ia pun bertanya, “Aku bisa melihat bahwa kau adalah setan, tapi mengapa kau membangunkanku agar salat?”

Kucing itu menjawab, “Karena kau memergoki aku, sekalian kukatakan saja padamu. Aku tahu kalau kalau kau ketinggalan satu salat wajib, kau akan melakukan seratus salat sebagai gantinya, jadi kubangunkan kau agar kau cuma dapat satu pahala dari satu salat saja.

(Abdul Qadir Jailani)

Setan tak henti-hentinya memompakan rayuan halusnya hingga sang cerdik pandai menjadi yakin bahwa dirinya harus mengajar orang. Lalu sang Setan membisiki si cerdik cendekia, “Kau harus menghias pemikiranmu dengan bahasa nan elok dan kewibawaan yang menawan. Mainkan juga kehebatanmu. Kalau tidak begitu, kata-katamu takkan punya efek; takkan mencapai hati khalayak dan mereka tak bakalan berhasil mencapai kebenaran.”

(Al-Ghazzali)

Nasionalisme dan Kerakyatan

Emang orang Skot itu bukan orang Inggris? Ha-ha :), ini weblog catatan lepas, bukan weblog buku pelajaran resmi buat anak2. Dan nggak semua negara di dunia pakai gaya nasionalisme kaku kayak orang Indonesia: elu nasionalis apa bukan?

Menurut penelitian sosiolog David Crone di tahun 1992, dari 10 orang Skot modern, 7 di antaranya menyebut diri sebagai orang Skot, 2 mengaku sebagai orang Skot sekaligus orang Inggris, dan sisanya menyebut diri orang Inggris.

Dan memang ada gerakan nasionalis Skot yang mau memisahkan diri dari Inggris. Tapi gerakan kayak gini justru nggak terlalu laku. Dalam polling resmi, justru orang lebih memilih masih bergabung dengan Inggris. Mirip orang Quebec yang dalam polling ternyata masih doyan bergabung dengan Kanada. Biasanya dalam kasus gitu, hasilnya selalu berselisih tipis. Soalnya, di masyarakat yang pola hidupnya nggak kaku, siapa sih yang bener2 masih mau mikirin urusan politik praktis kayak negara? Peduli amat. Selama orang Aaland menerima otonomi, mereka nggak peduli pulau mereka bagian dari Finlandia, atau Swedia. Bikin negara sendiri malah bikin repot. Juga orang Aceh, tiap diwawancarai wartawan non Indonesia, mereka mengaku hanya menginginkan masyarakat yang adil dan tentram, tidak harus merdeka, tapi juga tidak harus jadi bagian dari Indonesia — who cares?

Tradisi

Tradisi, sering kita bayangkan sebagai gaya hidup kolektif yang disusun masyarakat dalam rentang waktu lama sambil mengharmoniskan kehidupan dengan alam. Jadi tradisi merupakan kompilasi antara manusia dan alam dalam rentang lama. Tapi itu cuman asumsi. Dan suka diperkuat dengan kepercayaan.

Tradisi sendiri sering juga merupakan rekayasa tanpa pikir panjang dari penguasa yang dipaksakan pada rakyat, dan dijalankan rakyat apa adanya. Bisa juga dari penggalian yang salah dari masa lalu, yang kemudian diromantisasi. Dan yang suka bikin lucu, tradisi sering dipaksa diawetkan, dijalankan seperti yang dikira aslinya, dengan perubahan yang seminimal mungkin, sambil melupakan bahwa gaya hidup kolektif dalam rentang waktu panjang tentu seharusnya selalu berubah mengikuti kearifan zaman yang diserapnya.

BTW, percayakah bahwa musik kayak Bach dan Beethoven sebenernya bukan musik konservatif? Pada zamannya, musik mereka adalah musik yang benar-benar liberal dan dibenci kaum puritan masa itu, karena dianggap merusak tatanan. Tapi sekarang penggemar musik gituan dibilang konservatif, padahal yang mereka lakukan barangkali justru melepaskan diri dari gaya hidup tradisional kontemporer. Enak lho bersihin WC sambil ngedengerin Bach.

Juga percayakah bahwa kaum nasionalis Skotlandia suka sangat membenci simbol-simbol kayak Kilt dan Tartan yang konon merupakan tradisi Skot? Tradisi sih dulunya, tapi nggak gitu-gitu amat. Malah setelah sebuah pemberontakan rakyat Skot, simbol2 itu sempat dilarang bagi rakyat Skot, kecuali bagi suatu resimen Skot yang waktu itu loyal pada raja Inggris. Resimen loyalis (atau pengkhianat, tergantung siapa yang mendefinisikan) itu lah yang kemudian membuat pola2 tartan yang berbeda untuk setiap pasukan, dan kelak mengilhami pikiran membuat pola2 tartan untuk klan yang berbeda, selain untuk konsumsi turis. Simbol2 itu akhirnya boleh dipakai lagi setelah sekelompok aristokrat di London yang kenes (dan tentu loyalis) merayu penguasa Inggris untuk memperbolehkan memakai simbol-simbol Skot untuk keren2an. Akhirnya ngetop lagi deh pola tartan, baju kilt, dan seterusnya yang kayak sekarang, atas jasa para loyalis. Tapi tentu berbeda dengan aslinya. Aslinya sudah hilang saat kaum highlander tidak boleh lagi memakainya.

Dan ngobrol soal tradisi, tahukah bahwa Amerika Serikat yang konon bertradisi Inggris itu (wasp — white anglo saxon protestant), ternyata penduduknya sebagian besar keturunan Jerman, bukan Inggris? Nomor satu Jerman, nomor dua Irlandia, dan nomor tiga Inggris. Inggris cuman menang di bahasa dan sistem perdagangan. Bukan cuman sih. Peradaban modern memang dibentuk dari bahasa dan perdagangan (serta konspirasi politik), bukan soal etnik dan keturunan ;).

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorenUp ↑