Page 70 of 210

Kampus Rada Feodal

Kampus aku dulunya rada feodal. Dosen gila? Bukan. Dosennya sih baik2 aja. Merakyat. Yang gila hormat justru para “senior” di kampus, yang sebenernya aku ragukan kepakaran dan pengalamannya, jadi aku ragukan keseniorannya. Politisi busuk kampus yang gila hormat itu biasanya sok kuasa ke mahasiswa tingkat 1 dan terus sok lebih senior di tahun-tahun berikutnya. Aku waktu itu bahkan menolak manggil “Mas” ke angkatan2 yang lebih lama. Aku panggil nama aja. “Mas” itu untuk dosen aja. Kalo “Mbak”? Ugh, yang ini lain sih *set mode diskriminatif=on*. Angkatan yang lebih lama dan lebih baru, aku panggil “Mbak” semua.

Nah, kembali ke feodalisme. Ternyata di Lab RL, feodalisme ini masih dipelihara. Para praktikan digalakin melulu. Keselnya, ini masih terjadi juga biarpun Lab RL dipegang temen2 seangkatan aku. Katanya sih «mengkondisikan praktikan baru agar siap bekerja keras». Sounds good, Capo! *set mode sarkasme=on*. I don’t buy it. Aku pikir itu nggak lebih dari melampiaskan katarsis internal.

Abis praktikum RL, yang harus diambil adalah Elka. Masuk deh para mahasiswa dengan muka tegang ketakutan ke Lab Elka. Jadi ketegangan dan kegugupan kayak gini nih yang dihasilkan para Capo di Lab RL. Aku coba masuk Elka dengan gaya casual (eh, ini satu2nya gaya yang aku punya dink, jadi nggak pakai setting). Trus mulai dengan ngobrol hal-hal yang ringan dan lucu. «Kita tahu diode kan?». Eh kalimat kayak gitu pun langsung memancing mata tegang? Aku harus berjuang keras untuk menghapus hasil pendidikan di Lab RL!. (Tapi untuk apa? Biar mereka nggak mau jadi bulan2an asisten Lab Telekomunikasi dan lain2 sesudahnya).

Sabotase dimulai. Tapi nggak sengaja. Aku waktu itu suka ke rumah Yudo. Dia asisten Lab RL. Tapi nggak berbakat gila ;). Kadang2 ada praktikan minta asistensi ke rumah dia juga. Baru terpikir buat sabotase. Jadi aku, sambil nemenin Yudo, nemenin mereka juga. Ngajak makan tahu campur sambil nunggu laporannya diperiksa Yudo. Bagi2 Sarimi (itu Sarimi gratisan, banyakkkk sekali, dikasih tukang fotokopi soalnya kita ngasih dia order fotokopi banyakkkk sekali, jadi akhirnya mi-nya dikembalikan ke publik aja lagi). Sambil ketawa-ketawa: asistensi berhadiah mi. Anak kos2an, mana ada sih yang menolak mi. Dan melakukan setting *set mode kaku=off* *set mode takut_asisten=off*.

Berhasil? Ada lah. Tapi nggak mungkin dijalankan di semua asisten RL untuk semua praktikan kan? Ntar aku dibilang bikin diplomasi Sarimi. Ntar aku dibilang punya bakat jadi politisi busuk pula.

TEUB

Beberapa hari terakhir ini, website ini dikunjungi para tamu istimewa: angkatan “10 tahun kemudian” dari Teknik Elektro Unibraw. Wuih, iki 2004 rek — taon 1994 aku wis lulus. Yang paling banyak dari Lab Elektronika. Kayaknya sebelum ngasih kehidupan yang sekarang, NSA lupa menghapus data-data lama aku sebagai asisten di Lab Elektronika, jadi aku masih bisa ditrace. Ya udah deh, terima nasib :). *set mode paranoid=on*

Gimana tuh ceritanya aku masuk Lab Elka?

Ceritanya, aku lagi doyan main2 mikroprosesor. Di Lab Elka? Ya nggak. Di Lab Mikroprosesor. Orang dengan ukuran sekecil aku memang pantesnya nyuruh2 makhluk hidup yang lebih kecil, dan yang lebih kecil dari aku cuman chips. Di situ tiap hari aku ketemu Pak Bambang Siswojo, yang lagi asik main2 PLC, pakai bahasa Prolog (Anda nggak salah baca). Di sebelahnya, ada bahan riset punya aku, Ziggyt, dan Hakim, yang aku program pakai C. Turbo C versi 2 — kompiler terbaik sebelum C++.

Trus suatu hari Pak Bambang nawarin aku: «Udah siap jadi asisten, dik?» Aku tanya dulu: «Di sini, Pak?» (soalnya sebagai mahasiswa tahun kedua, aku secara resmi belum ikut praktikum mikroprosesor). Nggak pakai senyum, Pak Bambang menjawab «Ya nggak. Di Lab Elka.» Ya udah. Jadi deh. Bareng sama Ziggyt.

Hey, ini jadi asisten di Lab Elka itu kebanggaan lho. Memang, kalau di kuping, Lab Mikroprosesor atau Telekomunikasi atau Kontrol itu lebih gagah. Tapi *set mode megalomaniak=on*, mahasiswa yang diakui pantas jadi asisten udah keburu direkrut di usia muda di Lab RL dan kemudian Lab Elka, bahkan sebelum mereka ikut praktikum di lab-lab lainnya.

Trus ngapain? Ya itu lah. Nyolder diode, transistor, dan benda2 nggak presisi yang dibeli di pasar besar. Sengaja dicari di sana sih *set mode bohong=on*, soalnya para praktikan selalu nulis di bagian kesimpulan: «Selisih dengan hasil perhitungan diakibatkan oleh alat-alat yang kurang presisi». Take it easy. Semester berikutnya, dua kontainer gede dari Jerman bawa alat2 lab yang baru dan cakep dan bikin betah ngetem di lab.

75th Tintin

«Sebenarnya … musuh terbesarku adalah Tintin» — Jendral Charles de Gaulle.
Selamat ulang tahun, Tintin, pengelana hampir semua benua (kecuali Antartika) sampai ke bulan. Mudah2an kamu masih bisa menyemangati anak-anak zaman ini untuk bisa jadi pengelana antar benua juga, minus tembakan, bom, dan dan penculikan.

Dimes Logical Counting

Tadinya ada dua standar menghitung bilangan di atas satu miliar. Tadinya? Iya, sekarang konon malah jadi ada tiga.

Metode Amerika-Perancis, yang kayaknya juga dianut Indonesia, menghitung bilangan perseribuan. Satu miliar (atau satu bilyun) adalah seribu juta. Satu trilyun adalah seribu miliar. Satu kuadrilyun adalah seribu trilyun.

Di Inggris dan negara Eropa lainnya (selain Perancis maksudnya), hitungan dilakukan persejutaan. Satu bilyun itu sejuta juta. Satu trilyun itu sejuta bilyun. Satu kuadrilyun itu sejuta trilyun.

Nah, ternyata ada satu metode lagi, yang dinamakan Dimes Logical Counting (DLC). Kayak apa tuh? Lebih heboh, soalnya pakai deret ukur. Pertama, dia niru sistem Inggris: satu bilyun itu satu juta juta. Kemudian kehebohan dimulai: satu trilyun adalah satu bilyun bilyun, dan satu kuadrilyun adalah satu trilyun trilyun. Jadi DLC mengenal angka misalnya tiga bilyun trilyun.

Kosa kata yang dipakai ketiga sistem itu sama: juta, bilyun, trilyun, kuadrilyun, kuintilyul, sekstilyun, septilyun, oktilyun, nonilyun, desilyun. Di Perancis, satu desilyun punya 32 angka 0. Di Inggris dia punya 60 angka 0. Dan menurut DLC, dia punya 3072 angka 0.

John Barrow

Any universe simple enough to be understood is too simple to produce a mind able to understand it.
(Astrophysicist John Barrow of Cambridge, quoted in The Wall Street Journal)

Young Scientists

Nigel Calder menuding terang-terangan: gambaran Einstein di Time sebagai man of the century itu menyesatkan dan memalukan. Einstein digambarkan sebagai orang tua yang ramah, berambut kusut penuh uban, berbaju lusuh sekenanya. Padahal sang fisikawan yang menggoncangkan dunia hampir 100 tahun yang lalu itu, dan goncangannya masih terasa sekarang, adalah seorang pemuda, tegap, sok tahu, rada congkak. Yup, Einstein muda lah yang dalam satu tahun mempelopori fisika kuantum (dengan efek fotoelektrik), relativitas (yang disusul dengan teori gravitasi baru), sampai gerak Brown.

Tentu tidak ada yang salah dengan bertambah usia, asal kita tidak menjadi tua. Menjadi tua, pikiran kita dihantui oleh pengalaman yang terus bertambah, pengetahuan yang bertambah rumit bercecabang, sehingga hilanglah keberanian meneriakkan pembaharuan dengan lantang, lancang, dan sok tahu, dan hilanglah peluang untuk membuat revolusi baru.

Einstein tua adalah seorang tua. Bermusuhan dengan teori kuantum. Bikin konstanta kosmologi yang membuat orang mengabaikan fakta semesta mengembang. Dan cuma jadi dewa penjawab yang serba bijak, bukan jadi pembaharu lagi.

Juga Newton. Si anak durhaka yang lekas jadi tua. Newton, siapa yang pernah mau dengar omongan pemuda tanggung itu, yang nggak pernah jelas apa yang jadi fokusnya? Tapi ada yang mau dengar. Isaac Barrow, orang tua yang benar-benar bijak, yang benar-benar mau meninggalkan posisi keprofesoran mewahnya di Cambridge untuk memberi tempat bagi si pemuda tanggung yang baru beberapa bulan lulus, dan memungkinkannya untuk membuat revolusi fisika (mekanika, optika, kalkulus, gravitasi, dll). Sayangnya Newton tua tidak mengikuti teladan yang baik ini :).

Jurnal ini bukan tipe jurnal yang bisa nulis kalimat semacam “Jadi orang-orang tua, kalau kalian benar-benar punya kebijaksanaan, mundurlah dan beri kesempatan pada orang-orang muda.” Tidak menarik untuk memilih jalan hidup yang menunggu kesempatan yang diberikan orang. Tidak harus jadi Newton muda. Jadilah Einstein muda yang bisa bikin revolusi biarpun dari bagian dunia yang sunyi dan nyaris tak terdengar. Maju tanpa menunggu.

Dan kelak mundurlah tanpa menunggu.

Setan dan Cendekiawan

Oleh2 kunjungan dari geocities.com/cholis_penggerutu:

Suatu pagi Abdul Qadir Jailani masih terlelap sewaktu saat salat subuh tiba. Seekor kucing melompat ke sisinya dan mengusiknya hingga ia terbangun. Menyadari keterlambatannya, Abdul Qadir cepat-cepat menunaikan salat.

Selesai salat, ia memandang kucing itu. Berkat ketajaman spiritualnya, ia melihat bahwa kucing itu sesungguhnya adalah setan. Kenyataan ini membuat orang suci itu tak habis mengerti. Ia pun bertanya, “Aku bisa melihat bahwa kau adalah setan, tapi mengapa kau membangunkanku agar salat?”

Kucing itu menjawab, “Karena kau memergoki aku, sekalian kukatakan saja padamu. Aku tahu kalau kalau kau ketinggalan satu salat wajib, kau akan melakukan seratus salat sebagai gantinya, jadi kubangunkan kau agar kau cuma dapat satu pahala dari satu salat saja.

(Abdul Qadir Jailani)

Setan tak henti-hentinya memompakan rayuan halusnya hingga sang cerdik pandai menjadi yakin bahwa dirinya harus mengajar orang. Lalu sang Setan membisiki si cerdik cendekia, “Kau harus menghias pemikiranmu dengan bahasa nan elok dan kewibawaan yang menawan. Mainkan juga kehebatanmu. Kalau tidak begitu, kata-katamu takkan punya efek; takkan mencapai hati khalayak dan mereka tak bakalan berhasil mencapai kebenaran.”

(Al-Ghazzali)

Nasionalisme dan Kerakyatan

Emang orang Skot itu bukan orang Inggris? Ha-ha :), ini weblog catatan lepas, bukan weblog buku pelajaran resmi buat anak2. Dan nggak semua negara di dunia pakai gaya nasionalisme kaku kayak orang Indonesia: elu nasionalis apa bukan?

Menurut penelitian sosiolog David Crone di tahun 1992, dari 10 orang Skot modern, 7 di antaranya menyebut diri sebagai orang Skot, 2 mengaku sebagai orang Skot sekaligus orang Inggris, dan sisanya menyebut diri orang Inggris.

Dan memang ada gerakan nasionalis Skot yang mau memisahkan diri dari Inggris. Tapi gerakan kayak gini justru nggak terlalu laku. Dalam polling resmi, justru orang lebih memilih masih bergabung dengan Inggris. Mirip orang Quebec yang dalam polling ternyata masih doyan bergabung dengan Kanada. Biasanya dalam kasus gitu, hasilnya selalu berselisih tipis. Soalnya, di masyarakat yang pola hidupnya nggak kaku, siapa sih yang bener2 masih mau mikirin urusan politik praktis kayak negara? Peduli amat. Selama orang Aaland menerima otonomi, mereka nggak peduli pulau mereka bagian dari Finlandia, atau Swedia. Bikin negara sendiri malah bikin repot. Juga orang Aceh, tiap diwawancarai wartawan non Indonesia, mereka mengaku hanya menginginkan masyarakat yang adil dan tentram, tidak harus merdeka, tapi juga tidak harus jadi bagian dari Indonesia — who cares?

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorenUp ↑