Page 70 of 210

Dimes Logical Counting

Tadinya ada dua standar menghitung bilangan di atas satu miliar. Tadinya? Iya, sekarang konon malah jadi ada tiga.

Metode Amerika-Perancis, yang kayaknya juga dianut Indonesia, menghitung bilangan perseribuan. Satu miliar (atau satu bilyun) adalah seribu juta. Satu trilyun adalah seribu miliar. Satu kuadrilyun adalah seribu trilyun.

Di Inggris dan negara Eropa lainnya (selain Perancis maksudnya), hitungan dilakukan persejutaan. Satu bilyun itu sejuta juta. Satu trilyun itu sejuta bilyun. Satu kuadrilyun itu sejuta trilyun.

Nah, ternyata ada satu metode lagi, yang dinamakan Dimes Logical Counting (DLC). Kayak apa tuh? Lebih heboh, soalnya pakai deret ukur. Pertama, dia niru sistem Inggris: satu bilyun itu satu juta juta. Kemudian kehebohan dimulai: satu trilyun adalah satu bilyun bilyun, dan satu kuadrilyun adalah satu trilyun trilyun. Jadi DLC mengenal angka misalnya tiga bilyun trilyun.

Kosa kata yang dipakai ketiga sistem itu sama: juta, bilyun, trilyun, kuadrilyun, kuintilyul, sekstilyun, septilyun, oktilyun, nonilyun, desilyun. Di Perancis, satu desilyun punya 32 angka 0. Di Inggris dia punya 60 angka 0. Dan menurut DLC, dia punya 3072 angka 0.

John Barrow

Any universe simple enough to be understood is too simple to produce a mind able to understand it.
(Astrophysicist John Barrow of Cambridge, quoted in The Wall Street Journal)

Young Scientists

Nigel Calder menuding terang-terangan: gambaran Einstein di Time sebagai man of the century itu menyesatkan dan memalukan. Einstein digambarkan sebagai orang tua yang ramah, berambut kusut penuh uban, berbaju lusuh sekenanya. Padahal sang fisikawan yang menggoncangkan dunia hampir 100 tahun yang lalu itu, dan goncangannya masih terasa sekarang, adalah seorang pemuda, tegap, sok tahu, rada congkak. Yup, Einstein muda lah yang dalam satu tahun mempelopori fisika kuantum (dengan efek fotoelektrik), relativitas (yang disusul dengan teori gravitasi baru), sampai gerak Brown.

Tentu tidak ada yang salah dengan bertambah usia, asal kita tidak menjadi tua. Menjadi tua, pikiran kita dihantui oleh pengalaman yang terus bertambah, pengetahuan yang bertambah rumit bercecabang, sehingga hilanglah keberanian meneriakkan pembaharuan dengan lantang, lancang, dan sok tahu, dan hilanglah peluang untuk membuat revolusi baru.

Einstein tua adalah seorang tua. Bermusuhan dengan teori kuantum. Bikin konstanta kosmologi yang membuat orang mengabaikan fakta semesta mengembang. Dan cuma jadi dewa penjawab yang serba bijak, bukan jadi pembaharu lagi.

Juga Newton. Si anak durhaka yang lekas jadi tua. Newton, siapa yang pernah mau dengar omongan pemuda tanggung itu, yang nggak pernah jelas apa yang jadi fokusnya? Tapi ada yang mau dengar. Isaac Barrow, orang tua yang benar-benar bijak, yang benar-benar mau meninggalkan posisi keprofesoran mewahnya di Cambridge untuk memberi tempat bagi si pemuda tanggung yang baru beberapa bulan lulus, dan memungkinkannya untuk membuat revolusi fisika (mekanika, optika, kalkulus, gravitasi, dll). Sayangnya Newton tua tidak mengikuti teladan yang baik ini :).

Jurnal ini bukan tipe jurnal yang bisa nulis kalimat semacam “Jadi orang-orang tua, kalau kalian benar-benar punya kebijaksanaan, mundurlah dan beri kesempatan pada orang-orang muda.” Tidak menarik untuk memilih jalan hidup yang menunggu kesempatan yang diberikan orang. Tidak harus jadi Newton muda. Jadilah Einstein muda yang bisa bikin revolusi biarpun dari bagian dunia yang sunyi dan nyaris tak terdengar. Maju tanpa menunggu.

Dan kelak mundurlah tanpa menunggu.

Setan dan Cendekiawan

Oleh2 kunjungan dari geocities.com/cholis_penggerutu:

Suatu pagi Abdul Qadir Jailani masih terlelap sewaktu saat salat subuh tiba. Seekor kucing melompat ke sisinya dan mengusiknya hingga ia terbangun. Menyadari keterlambatannya, Abdul Qadir cepat-cepat menunaikan salat.

Selesai salat, ia memandang kucing itu. Berkat ketajaman spiritualnya, ia melihat bahwa kucing itu sesungguhnya adalah setan. Kenyataan ini membuat orang suci itu tak habis mengerti. Ia pun bertanya, “Aku bisa melihat bahwa kau adalah setan, tapi mengapa kau membangunkanku agar salat?”

Kucing itu menjawab, “Karena kau memergoki aku, sekalian kukatakan saja padamu. Aku tahu kalau kalau kau ketinggalan satu salat wajib, kau akan melakukan seratus salat sebagai gantinya, jadi kubangunkan kau agar kau cuma dapat satu pahala dari satu salat saja.

(Abdul Qadir Jailani)

Setan tak henti-hentinya memompakan rayuan halusnya hingga sang cerdik pandai menjadi yakin bahwa dirinya harus mengajar orang. Lalu sang Setan membisiki si cerdik cendekia, “Kau harus menghias pemikiranmu dengan bahasa nan elok dan kewibawaan yang menawan. Mainkan juga kehebatanmu. Kalau tidak begitu, kata-katamu takkan punya efek; takkan mencapai hati khalayak dan mereka tak bakalan berhasil mencapai kebenaran.”

(Al-Ghazzali)

Nasionalisme dan Kerakyatan

Emang orang Skot itu bukan orang Inggris? Ha-ha :), ini weblog catatan lepas, bukan weblog buku pelajaran resmi buat anak2. Dan nggak semua negara di dunia pakai gaya nasionalisme kaku kayak orang Indonesia: elu nasionalis apa bukan?

Menurut penelitian sosiolog David Crone di tahun 1992, dari 10 orang Skot modern, 7 di antaranya menyebut diri sebagai orang Skot, 2 mengaku sebagai orang Skot sekaligus orang Inggris, dan sisanya menyebut diri orang Inggris.

Dan memang ada gerakan nasionalis Skot yang mau memisahkan diri dari Inggris. Tapi gerakan kayak gini justru nggak terlalu laku. Dalam polling resmi, justru orang lebih memilih masih bergabung dengan Inggris. Mirip orang Quebec yang dalam polling ternyata masih doyan bergabung dengan Kanada. Biasanya dalam kasus gitu, hasilnya selalu berselisih tipis. Soalnya, di masyarakat yang pola hidupnya nggak kaku, siapa sih yang bener2 masih mau mikirin urusan politik praktis kayak negara? Peduli amat. Selama orang Aaland menerima otonomi, mereka nggak peduli pulau mereka bagian dari Finlandia, atau Swedia. Bikin negara sendiri malah bikin repot. Juga orang Aceh, tiap diwawancarai wartawan non Indonesia, mereka mengaku hanya menginginkan masyarakat yang adil dan tentram, tidak harus merdeka, tapi juga tidak harus jadi bagian dari Indonesia — who cares?

Tradisi

Tradisi, sering kita bayangkan sebagai gaya hidup kolektif yang disusun masyarakat dalam rentang waktu lama sambil mengharmoniskan kehidupan dengan alam. Jadi tradisi merupakan kompilasi antara manusia dan alam dalam rentang lama. Tapi itu cuman asumsi. Dan suka diperkuat dengan kepercayaan.

Tradisi sendiri sering juga merupakan rekayasa tanpa pikir panjang dari penguasa yang dipaksakan pada rakyat, dan dijalankan rakyat apa adanya. Bisa juga dari penggalian yang salah dari masa lalu, yang kemudian diromantisasi. Dan yang suka bikin lucu, tradisi sering dipaksa diawetkan, dijalankan seperti yang dikira aslinya, dengan perubahan yang seminimal mungkin, sambil melupakan bahwa gaya hidup kolektif dalam rentang waktu panjang tentu seharusnya selalu berubah mengikuti kearifan zaman yang diserapnya.

BTW, percayakah bahwa musik kayak Bach dan Beethoven sebenernya bukan musik konservatif? Pada zamannya, musik mereka adalah musik yang benar-benar liberal dan dibenci kaum puritan masa itu, karena dianggap merusak tatanan. Tapi sekarang penggemar musik gituan dibilang konservatif, padahal yang mereka lakukan barangkali justru melepaskan diri dari gaya hidup tradisional kontemporer. Enak lho bersihin WC sambil ngedengerin Bach.

Juga percayakah bahwa kaum nasionalis Skotlandia suka sangat membenci simbol-simbol kayak Kilt dan Tartan yang konon merupakan tradisi Skot? Tradisi sih dulunya, tapi nggak gitu-gitu amat. Malah setelah sebuah pemberontakan rakyat Skot, simbol2 itu sempat dilarang bagi rakyat Skot, kecuali bagi suatu resimen Skot yang waktu itu loyal pada raja Inggris. Resimen loyalis (atau pengkhianat, tergantung siapa yang mendefinisikan) itu lah yang kemudian membuat pola2 tartan yang berbeda untuk setiap pasukan, dan kelak mengilhami pikiran membuat pola2 tartan untuk klan yang berbeda, selain untuk konsumsi turis. Simbol2 itu akhirnya boleh dipakai lagi setelah sekelompok aristokrat di London yang kenes (dan tentu loyalis) merayu penguasa Inggris untuk memperbolehkan memakai simbol-simbol Skot untuk keren2an. Akhirnya ngetop lagi deh pola tartan, baju kilt, dan seterusnya yang kayak sekarang, atas jasa para loyalis. Tapi tentu berbeda dengan aslinya. Aslinya sudah hilang saat kaum highlander tidak boleh lagi memakainya.

Dan ngobrol soal tradisi, tahukah bahwa Amerika Serikat yang konon bertradisi Inggris itu (wasp — white anglo saxon protestant), ternyata penduduknya sebagian besar keturunan Jerman, bukan Inggris? Nomor satu Jerman, nomor dua Irlandia, dan nomor tiga Inggris. Inggris cuman menang di bahasa dan sistem perdagangan. Bukan cuman sih. Peradaban modern memang dibentuk dari bahasa dan perdagangan (serta konspirasi politik), bukan soal etnik dan keturunan ;).

Aksara

Secara subyektif temporer, ternyata judulnya antiklimaks.

Toko buku ini udah aku incer untuk dikunjungi, mulai zaman aku masih jadi pengunjung setia Waterstone’s. Waktu itu beredar kabar menarik: di Jakarta ada toko buku baru, dimiliki usahawan yang kutu buku, dan konon nggak kalah sama Waterstone’s.

Sampai Jakarta, ternyata aku malah lebih sering ke QB, dan biarpun sempat beberapa kali ke Kemang, belum juga berhasil ke took buku inceran ini. Tapi biar deh. QB juga nggak kalah fantastis sebagai toko buku di Indonesia. Mudah2an lebih banyak yang kayak gini di masa2 mendatang.

Kemaren akhirnya ketemu juga aku sama toko buku Aksara, sebuah bangunan box yang ditata sangat apik di tengah alam Kemang yang nggak ramah. Barangkali Ari atau sastrawan lain bakal lebih suka masuk sini daripada disuruh masuk surga. Tapi kemaren aku abis dikasih Intunal di sebuah klinik di Kemang, dan realitas bergeser 15 derajat (frasa ini dicuplik secara tidak sah dari seorang budayawan yang unik). Dan aku Cuma lihat buku2 di sana nggak beda dengan bagian tertentu dari Kinokuniya, atau lebih sial lagi nggak beda dengan bagian tertentu dari Gramedia yang diinggriskan. Percayalah, persepsiku bakal lain kalau darah nggak dipenuhi Intunal. Tapi untuk hari itu, judulnya akhirnya antiklimaks.

Dan aku cuman menghabiskan waktu baca buku tentang Koba.

Sidang FCO4 @ Senayan

Tanggal 13 kemaren, ex FCO-4 ketemu lagi. Nggak semua sih. Tapi udah kuorum lah. Tempatnya nyaman, dengan roast duck yang syedap dan es blewah yang syegar, yang masih terbayang sampai sekarang. Thanks buat Edwin, yang memfungsikan diri sebagai host.

Alkisah Edwin siap ditugaskan jadi diplomat, dan siap berangkat ke Tokyo bulan depan, dan ini acara farewell party-nya. Kenapa sama FCO-4? Tau tuh. Barangkali sekedar mengenang jaman2 dulu siap ngabur lama ke negeri asing, dan yang diajak saling berkonsultasi persiapan cuman temen2 FCO-4 yang lebih banyak bingungnya tapi selalu bisa saling bantu. Wah, sayangnya aku nggak bareng mereka di jaman itu, soalnya udah ngabur duluan satu semester sebelumnya :).

Fajar masih pendiam kayak dulu. Dulu mikirin ujian, sekarang mikirin utang negara melulu. Berat kayaknya kerjaannya, sampai makannya aja nggak pakai konsentrasi. Ika yang dulu doyan advokasi buruh, sekarang doyan advokasi perempuan, dengan semangat yang sama menggebu-gebunya. Lina masih bergaya sebagai consultant yang stays cool di bidang medik, yang cerita2nya bikin aku berharap nggak ikut dengar tapi selalu ikut penasaran.

Ari ketinggalan di Bandung. Ngasih kuliah tambahan katanya. Dih, paling juga nggak mau ketinggalan acara jalan2 di BSM. Surya yang makin ngetop lagi rapat HAM di Puncak. Rapat HAM apa piknik sih? Susi udah duluan ke Jepang. Akhirnya dia menikmati hidup di negara maju, meninggalkan negara terkebelakang, khususnya Inggris bagian Reading. Dan aku baru tau kalo Susi yang suka nulis cerpen dan cerber di Femina itu ternyata Susi yang ini, yang rambutnya sering aku pakai belajar pakai chopstick di kelas.

Pak Yuven, belum kedengeran lagi kabarnya. Berat sekali perjuangan beliau nampaknya.

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorenUp ↑