Pagi hari, gitu kata Morrie, adalah satu2nya saat untuk bersedih. Untuk merenungi apa yang lewat dan apa yang ada di depan kita. Berikutnya adalah memaksa diri bangun, dan menghadapi hidup, dengan keceriaan dan harapan. Dengan paksaan, kalau memang tidak bisa. Jadi, aku mengikuti petuah Morrie hari ini.
Sederetan obat sudah tidak perlu mengotori jadwal hidup. Kopi masih diharamkan. Tapi kita orang bandel, mana mau menerima fatwa haram tanpa melakukan investigasi hukum. Siang ini aku beli sekantung kopi decaf lagi.

Kopi decaf, kita tahu, membuang setidaknya 97% kafein dari dalam badan kopi. Kopi2 decaf (misalnya Nescafé) biasanya berbentuk bubuk yang dipadatkan. Ini dibuat dengan menggiling kopi yang sudah dipanggang, menyedunya dengan air panas sesuai resep, memisahkan kafeinnya (dengan elektrolisis?), lalu menyuling airnya, dan meninggalkan bubuk kopi yang bebas air dan bebas kafein untuk diolah lebih lanjut. Kafeinnya tentu tidak dibuang, tapi dijual ke perusahaan penjual minuman semacam Krating Daeng atau Coca Cola. Atau Paramex :). Hush.
Decaf gaya Starbucks rada lain. Bentuknya biji. Nah lo, kapan kafeinnya dipisah. Sang barrista cerita: biji kopi direndam dalam larutan kimia tertentu sehingga kafein kabur keluar. Kemudian biji kopi diolah, dipanggang, dan dikemas. Rasanya? Lebih baik daripada versi bubuk dipadatkan, biarpun gulanya Tropicana Slim. Kadar kafeinnya? Ntah, gimana aku harus ngukur :).
Sore ini, di tengah semesta yang sedang tak ramah, kembali satu mug kopi menemaniku. Yummie. Tapi nggak lama. Sa’iki kari letheké thok. Dah ah, siapin presentasi dulu buat besok.




