Category: Science (Page 9 of 12)

Yang Sporadik

OK, yang ini untuk yang protes abis baca catatan lepas tentang Red Queen. Sekali lagi, ini bukan jurnal atau diary. Ini Catatan Lepas, tempat aku menuangkan gagasan2 sporadik (yang tentu saja, sesuai mood aku, nggak harus selalu sporadik). Aku dapat buku baru yang bagus, baca sekilas di Kereta, nulis apa yang terbayang abis baca 3 jam di Kereta (belum setengah buku). Dan yang terbayang tentu bukan apa yang terbaca, tapi juga apa yang pernah terbaca, terpikirkan, atau apa pun, termasuk deretan pohon singkong berbaris di perbukitan. Jadi kapan aku menyelesaikan ulasan buku itu … itu udah selesai. Kapan2 aku tulis soal lain yang barangkali ada hubungannya sama buku itu, kalau punya gagasan yang kebetulan nyerempet ke situ.

Dan soal Tuhan … aku masih berpikir, bahwa kalau Tuhan kita memiliki sistem logika dan operasional yang masuk dengan lembut dan manisnya ke sistem logika kita … kayaknya kita perlu ganti Tuhan. Kita sedang menatap Tuhan yang salah — yang telah tertundukkan oleh sistem operasi yang kita buat (Linux misalnya, hehe).

Jadi sambil terus menikmati bagaimana Allah memperkenalkan kebesaran-Nya, keanggunan-Nya, dan senyuman abadi-Nya dalam alur hidup kita dan semesta di dalamnya :), kita terus berusaha merendah bahwa kita tetap hanyalah makhluk kecil mungil di hadapan-Nya.

The Red Queen

Akhirnya, daripada bertaruh dengan beli buku Richard Dawkins yang hurufnya mungil dan nggak nyaman dibaca di sembarang tempat (kesannya kayak nerd bener), aku beli aja buku Matt Ridley lagi: The Red Queen. Buku Ridley yang lain, Genome, memang terlalu menarik, sampai akhirnya bikin kita menyesal bahwa manusia cuma punya 23 pasang kromosom, sehingga buku ini cepet abis. Alasan lain, dengan judul The Red Queen dan desain merah nyala kayak gini, buku ini bikin pembacanya kayak pembaca normal yang lagi baca novel di jalan. Atau — kalau dibaca subjudulnya — pembacanya jadi mirip pembaca tipikal yang suka penasaran sama soal seks.

OK. Jadi Ridley memulai kira-kira dari Dawkins lagi. Kapan sih gen kita dibentuk? Bukan waktu ortu kita tumbuh. Waktu dilahirkan, gen sudah tersimpan rapi untuk dikembangkan dan siap ditumbuhkan waktu ortu kita udah dewasa. Jadi genetika kita bukan keturunan ortu kita, tapi keturunan gen yang dibawa ortu kita, dan seterusnya. Dan meneruskan catatan Ridley di buku Genome: mana yang lebih dulu, protein atau DNA, dan ternyata jawabannya lebih mungkin adalah RNA, maka turunlah tesis Dawkins yang menarik itu: gen adalah tokoh dalam evolusi, dalam motivasi kehidupan, sedangkan organisme hanyalah pembawa gen — utilitas yang digunakan gen untuk memeliharanya, menumbuhkannya, dan menjalankan fungsi-fungsinya membentuk kehidupan yang lebih baik.

Kalau Anda mengira bahwa aku bakal memaki2 Dawkins gara2 nggak sesuai dengan kata-kata Harun Yahya, Anda salah. Aku akan lebih suka seandainya Harun Yahya lebih memiliki kejujuran ilmiah, dan mulai menginformasikan tentang teori evolusi dengan lebih baik, dan dengan demikian tidak merusak nama baik umat beragama sebagai umat yang ngawur dalam berilmu.

Dawkins sendiri konon suka mematahkan segala bentuk ketuhanan dalam arti bentuk desainer superfisial yang menyusun rancangan semesta dan makhluk hidup. Tapi kalau kita memang punya keimanan yang tidak berdasar dogmatisme konyol, kita akan lebih menerima tokoh Allah dengan lebih rendah hati dan tidak sok tahu, sehingga justru lebih meningkatkan ketakwaan kita.

BTW, aku mendingan nerusin baca dulu deh …

Igor Novikov

OK, sekarang kita bahas dikit tentang Novikov. Hawking selalu menggunakan paradox mesin waktu sebagai berikut: Kalau Kip Thorne bisa kembali ke masa lalu, maka ia bisa menembak kakeknya, dan mengakibatkan orangtua Kip tidak bisa lahir, dan mengakibatkan Kip tidak mungkin ada, sehingga tidak ada yang menggunakan mesin waktu itu untuk menembak kakek Kip, sehingga kakek Kip tetap hidup, sehingga ….dan seterusnya.

Tapi kalau kita bicara soal manusia, terlalu banyak parameter yang harus dihitung. Jadi, kita coba sederhanakan saja dulu masalahnya dengan bola-bola kecil.

Misalkan, kata Igor, kita punya dua lubang, A dan B. Benda yang masuk ke lubang B akan keluar dari A di masa lalu, kira-kira satu detik sebelumnya. Simpel kan?

Sekarang kita tembakkan bola masuk B, tapi waktu keluar dari A (satu detik sebelumnya), dia kita usahakan untuk menabrak bola yang akan masuk B itu, sehingga dia tidak berhasil masuk lobang B. Apa yang terjadi?

Dalam eksperimen pikiran (kalkulasi) Novikov, yang terjadi adalah bahwa bola 1 (yang kita lempar) tidak akan terkena bola 2 (yang keluar dari A) secara frontal. Kenanya agak miring, sehingga dia masih bisa masuk B, tapi dalam posisi agak miring, sehingga keluar dari A (sebagai bola 2) masih agak miring, sehingga menabrak bola 1 dalam posisi tidak frontal, sehingga bola 1 masuk lobang B dalam posisi agak miring. Seberapa jauh pun kita menggeser arah penembakan B, selalu resultan sejarahnya adalah bahwa bola 2 yang keluar dari A akan mengacaukan rencana kita sehingga bola masuk lobang sesuai arah sejarah yang menentukan bagaimana bola harus keluar dari A. Sejarah tetap tunggal, tidak ganda.

Tapi bagaimana kalau misalnya bola dimuati dengan bom. Kalau kena sentuhan sedikit, dia akan meledak, sehingga tidak bisa masuk lobang. Kalau kita masukkan bom ini ke lobang B, dia akan keluar dari A sedetik sebelumnya sebagai bom-2, dan entah menabrak entah menyenggol si bom-1, dia akan menghancurkan bom-1 dan membuatnya tidak bisa masuk lobang, dan mencegahnya menabrak dirinya sendiri. Gitu? Nggak gitu, kata Novikov.

Bom kita lembar ke lobang B. Tapi, hey, sebelum masuk ke B, ada pecahan benda keluar dari lobang A. Pecahan apa tuh? Nggak tau. Tapi dia menabrak bom kita, lalu menyebabkannya meledak, blarrrr, dan salah satu pecahannya masuk ke lobang B, lalu keluar sedetik sebelumnya dari A, dan ternyata pecahan itu lah yang menyebabkan bom kita meledak.

Semakin rumit percobaan kita, semakin rumit efek yang dibuat ‘alam’ untuk membuat sejarah (matematis) itu jadi kenyataan fisika. Mesin waktu jelas masuk akal, kata Novikov, dan sejarah berjalan terintegrasi dengan adanya mesin waktu itu.

Terus gimana dengan Kip yang menembak kakeknya di masa lalu? Kata Igor, Kip bisa ke masa lalu, tapi akan/telah selalu gagal membunuh kakeknya. Kalaupun berhasil, barangkali di waktu yang salah, waktu ortu Kip sudah ada di dalam kandungan.

Suhu Terendah & Tertinggi

Kalau ada suhu terendah, bisakah ada suhu tertinggi? Tebak dulu nih: ada nggak?

Kalau suhu terendah dihitung saat molekul memiliki kecepatan mikro sama dengan nol, maka suhu tertinggi dihitung saat partikel-partikel memiliki kecepatan yang tertinggi, yaitu, menurut relativitas, sebesar kecepatan cahaya, yaitu tiga ratus juta meter per detik. Dengan hitungan yang panjang, pada saat itu suhu telah mencapai kira-kira 140 × 1030 kelvin.

Tentang Suhu

Yuk, sekarang cerita tentang suhu. Hiatttt. Eh, bukan suhu yang itu.

Sebelum Fahrenheit, orang sudah tahu bahwa panas mengakibatkan benda memuai, dan pemuaian itu bisa dijadikan penunjuk intensitas panas. Tapi Fahrenheit-lah yang pertama kali memberikan besaran angka pada intensitas itu, sebagai besaran bernama temperatur alias suhu. Fahrenheit, di Jerman di abad ke-16, masih doyan cara berhitung kuno. Jadi dia pikir, buat aja penskalaannya dalam derajat, biar kayak lingkaran. Tadinya dia mau hitung dari 0 sampai 360 derajat, kayak lingkaran. Tapi khawatir kekecilan, akhirnya dia bagi jadi 180 derajat. kayak setengah lingkaran. 180 derajat itu adalah selisih antara titik beku dan titik didih air. Tapi bagaimana kalau ada yang lebih dingin dari titik beku. Pusing nih si Fahrenheit. Trus dia punya ide yang kayaknya masuk akal. Ukur suhu yang paling dingin yang bisa diukur manusia, dan namai 0 derajat. Suhu terdingin yang bisa dia buat adalah campuran air dan amoniak yang membeku. OK, namanya 0 derajat. Terus titik beku air dihitung dari situ, ketemu 32 derajat. Titik didih air jadi 32 + 180, jadi 212 derajat. Selesai. Jadilah derajat Fahrenheit.

Di Swedia, Celcius merasa hitungan Fahrenheit itu lucu sekali. Hitungan yang wajar, menurut dia, adalah dengan membagi seratus derajat suhu antara titik didih dan titik beku air. Kenapa air? Soalnya gampang paling gampang dicari dan direkonstruksi perhitungannya. Jadi Celcius memberikan angka 0 untuk titik didih air, dan 100 untuk titik beku air, dan membagi suhu dalam derajat Celcius. Setelah orang Swedia eksentrik ini meninggal, orang mengubah skala Celcius: 0 untuk titik beku air, dan 100 untuk titik didih air.

Tentu jadi ada nilai negatif untuk derajat suhu. Tapi lama-lama orang terbiasa. Malahan akhirnya orang sering juga menemukan benda yang suhunya di bawah 0 derajat Fahrenheit.

Di akhir abad ke-19, saat para fisikawan asyik dengan termodinamika, ilmuwan William Thomson, a.k.a. Lord Kelvin, menyimpulkan suhu terendah yang bersifat absolut, yang tidak mungkin lebih dingin lagi. Kira-kira sebesar -273.15 derajat Celcius. Suhu itu dinamai 0 kelvin. Kelvin memakai skala yang sama dengan Celcius. Jadi air membeku pada 273 kelvin, dan mendidih pada 373 kelvin.

Model Matematika

Apakah relativitas hanya sebuah pemodelan matematika? Ya, tapi bukan berarti dia tidak nyata. Sama dengan 1+1=2 yang mustahil dibilang tidak nyata. Karena ada matahari dengan massa cukup besar itu, maka terjadi pelengkungan ruang-waktu, yang membuat gerakan bumi menjadi seolah mengelilingi matahari. Lho, itu kan karena gravitasi, gitu kali pikir kita.

Tapi gravitasi cuma penamaan dari sebuah gejala matematis juga :). Emang bumi pernah meratifikasi Hukum Newton IV, menanyakan massa matahari dan menimbang massa dirinya sendiri, kemudian membeli kalkulator, dan selanjutnya menghitung dengan jari-jari berapa dan kecepatan berapa dia akan mengelilingi matahari?

Bumi, kalau punya kesadaran, hanya memutuskan bergerak sesuai Hk Newton I saja, bergerak melalui lintas paling sederhana. Si lintas itulah yang oleh massa matahari dilengkungkan sehingga bumi berevolusi. Dan mekanisme itu kemudian dinamai gravitasi. Atau relativitas. Atau apa pun nama lucu lainnya.

Eastern Chipmunk

Eastern chipmunk, a striped ground squirrel found mostly in eastern North America. Eastern chipmunks have five dark and two light stripes on their backs, extending from head to rump, and two stripes on their long, bushy tails. They are distinguished from other ground squirrels by the white stripes above and below their eyes.

Chipmunks often make their homes in sparse forests or farms, where they can build the entrances to their lodges in stone walls, broken trees, or thick underbrush. A lodge consists of a maze of tunnels leading to a large, leaf-lined nest. Chipmunks spend most of the daylight hours outdoors but head for their lodges before nightfall. Although they are excellent climbers, chipmunks live primarily on the ground.

Chipmunks eat nuts, seeds, insects, and occasionally birds’ eggs. Like all ground squirrels, they have large cheek pouches, sometimes extending as far back as their shoulders, in which they can store food. They collect and store nuts and seeds through the summer and fall. When the weather starts to get cool, all the chipmunks in a region suddenly disappear into their lodges, where they begin hibernation. On warm winter days one can often see chipmunk pawprints in the snow, as they will sometimes wake up and leave their lodges for brief periods when the temperature rises.

Mating season for Eastern chipmunks is mid-March to early April. The gestation period is 31 days, after which a litter of three to six is born. Baby chipmunks leave the lodge after one month and are mature by July.

The chipmunk most likely got its name from the noise it makes, which sounds like a loud “cheep.” You can occasionally see a chipmunk hanging upside down from a tree branch “cheeping” its call.

Source: C++ in a Nutshell, O’Reilly & Associates, Inc

Eksperimen Celah Ganda 1990

Interpretasi Bohr atas teori kuantum (atau lebih sering dinamakan sebagai Interpretasi Kopenhagen, dengan huruf besar) adalah dengan menganggap bahwa foton, atau elektron, atau apa pun dalam skala kuantum, akan menampilkan sifat gelombangnya (dan menafikkan sifat materinya) pada saat diamati sebagai gelombang, dan akan menampilkan sifat materinya (sambil menyembunyikan sifat gelombangnya) pada saat diamati sebagai materi.

Tapi pada tahun 1990-an, disusun sebuah eksperimen sekedar buat menggoda interpretasi ini. Para experimenter menyusun semacam celah ganda juga. Bukan dalam bentuk celah fisik, tapi dalam bentuk fiber optik. Dan dipasang berurutan bercabang-cabang.

Hasilnya: dalam satu kali pengamatan, si foton dapat menampilkan diri sebagai gelombang dan materi sekaligus.

Relasi etika interpretasi Bohr selalu dianut dalam website ini, yaitu: jika dua pernyataan bertentangan, bukan berarti salah satu harus salah. Tapi si experimenter iseng memaksa kita mengubah soal ini juga: bukan saja dua pernyataan bertentangan bisa benar keduanya, tapi juga boleh kita anut keduanya :).

Detektor Setengah Celah

Yuk ah … kita ngobrolin makhluk-makhluk dalam skala kuantum lagi :), nerusin cerita tahun 2001. Kalimatnya sengaja dibikin seolah2 si obyek benar2 punya perasaan dan punya karakteristik ganda — hal yang tidak akan diakui fisikawan kuantum masa kini.

Waktu itu eksperimen fisika kuantum, termasuk eksperimen dalam celah ganda, masih dalam bentuk eksperimen pikiran. Kalau foton (atau juga elektron) dipancarkan satu butir demi satu butir, ke celah ganda, maka ia akan berinterferensi, dan pola interferensinya teramati pada layar di belakang celah. Namun kalau pada setiap celah kita memasang detektor, maka pada setiap pancaran sebutir foton (atau elektron), hanya satu detektor yang mendeteksi adanya foton (atau elektron) yang melaluinya, dan secara ajaib pola pada layar berubah, tidak lagi menampilkan pola interferensi, melainkan pola seperti kalau ada bola yang dilemparkan melalui celah ganda. Foton (dan elektron) tahu bahwa ada kita yang melakukan pengamatan, dan mengubah karakteristiknya sesuai apa yang dimaui pengamat. OK, ini cerita lama. Eksperimen macam ini baru dibuktikan dalam bentuk fisik sekitar tahun 1980-an dan 1990-an.

Wheeler menambahkan suatu keajaiban lain dalam eksperimen itu. Kalau kita memasang detektor setelah celah, katanya, dan memutuskan untuk mematikan atau menghidupkan detektor itu setelah foton (atau elektron) melalui celah, apa yang akan terjadi?

Pola pada layar akan selalu menyesuaikan dengan apakah detektor dipasang atau tidak. Jadi apakah foton (atau elektron) tunggal dapat berinteraksi tergantung pada apakah detektor hidup atau mati. Tapi di mana foton (atau elektron) berpisah (kalau ia jadi gelombang) atau tidak berpisah (kalau ia jadi materi) ? Di celah, yang dilewati foton (atau elektron) waktu detektor belum diputuskan untuk hidup atau mati.

Wheeler menamakan gejala ini “delayed choice”.

Tentu tidak aneh, kalau kita bayangkan bahwa menurut Wheeler dan Feynman kemudian, bahwa foton dan segala interaksi selalu merambat dalam waktu + dan waktu – sekaligus. Tapi yang lebih umum dijadikan penjelasan adalah bahwa entitas yang kita namakan “ada foton” dan “ada elektron” itu sepenuhnya gejala matematis, yang jadi ada (mewujud) karena formulanya benar (konsisten dengan pengamat). Dan perwujudan akhirnya tentu menyesuaikan diri dengan konfigurasi lingkungan totalnya. Dan begitulah hasilnya.

Eksperimen dalam bayangan Wheeler ini benar2 dilaksanakan secara fisik pada pertengahan tahun 1980-an, secara terpisah di München dan Maryland, dengan hasil tepat seperti yang dibayangkan Wheeler.

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑