Category: Book (Page 7 of 10)

The Red Queen

Akhirnya, daripada bertaruh dengan beli buku Richard Dawkins yang hurufnya mungil dan nggak nyaman dibaca di sembarang tempat (kesannya kayak nerd bener), aku beli aja buku Matt Ridley lagi: The Red Queen. Buku Ridley yang lain, Genome, memang terlalu menarik, sampai akhirnya bikin kita menyesal bahwa manusia cuma punya 23 pasang kromosom, sehingga buku ini cepet abis. Alasan lain, dengan judul The Red Queen dan desain merah nyala kayak gini, buku ini bikin pembacanya kayak pembaca normal yang lagi baca novel di jalan. Atau — kalau dibaca subjudulnya — pembacanya jadi mirip pembaca tipikal yang suka penasaran sama soal seks.

OK. Jadi Ridley memulai kira-kira dari Dawkins lagi. Kapan sih gen kita dibentuk? Bukan waktu ortu kita tumbuh. Waktu dilahirkan, gen sudah tersimpan rapi untuk dikembangkan dan siap ditumbuhkan waktu ortu kita udah dewasa. Jadi genetika kita bukan keturunan ortu kita, tapi keturunan gen yang dibawa ortu kita, dan seterusnya. Dan meneruskan catatan Ridley di buku Genome: mana yang lebih dulu, protein atau DNA, dan ternyata jawabannya lebih mungkin adalah RNA, maka turunlah tesis Dawkins yang menarik itu: gen adalah tokoh dalam evolusi, dalam motivasi kehidupan, sedangkan organisme hanyalah pembawa gen — utilitas yang digunakan gen untuk memeliharanya, menumbuhkannya, dan menjalankan fungsi-fungsinya membentuk kehidupan yang lebih baik.

Kalau Anda mengira bahwa aku bakal memaki2 Dawkins gara2 nggak sesuai dengan kata-kata Harun Yahya, Anda salah. Aku akan lebih suka seandainya Harun Yahya lebih memiliki kejujuran ilmiah, dan mulai menginformasikan tentang teori evolusi dengan lebih baik, dan dengan demikian tidak merusak nama baik umat beragama sebagai umat yang ngawur dalam berilmu.

Dawkins sendiri konon suka mematahkan segala bentuk ketuhanan dalam arti bentuk desainer superfisial yang menyusun rancangan semesta dan makhluk hidup. Tapi kalau kita memang punya keimanan yang tidak berdasar dogmatisme konyol, kita akan lebih menerima tokoh Allah dengan lebih rendah hati dan tidak sok tahu, sehingga justru lebih meningkatkan ketakwaan kita.

BTW, aku mendingan nerusin baca dulu deh …

Di Depan QB

Aku masih beberes di depan QB-World Thamrin, dan si cleaning service itu mulai menembakkan kata-kata.

“Mahal ya buku-buku di situ?”

“Yaaa … Mahal juga sih.” (Bokek juga lah kalo sering ke sini. Kalo nggak gara2 dendam sama masa lalu juga sekarang ogah beli buku2 mahal gini.)

“Waktu saya ke sana, ada yang sampai setengah jutaan.”

“Ada, tapi yang lain nggak semahal itu. Biasanya yang sampulnya tipis lebih murah.” (Abis ngebandingin harga buku Richard Dawkins yang hardcover sama yang paperback –red)

“Kalau yang itu berapa?”

“Yang ini seratusan.” (Kalo iklan McD bilang empat ribuan, berarti tanpa PPN harganya mendekati lima ribuan)

“Seratusan dapet dua.”

“Dapet satu sih.” (Pas di sini jadi inget trik menjual kacamata)

“Masih mahal ya. Sebenernya sih kalau bahasanya Indonesia saya mau sering-sering baca-abca di sana. Tapi bahasanya Inggris semua. Nggak ngerti.”

“Coba aja dikit-dikit.”

“Mana nggak ada gambarnya lagi. Jadi susah dibayangin.”

Sebenernya minat baca di masyarakat kita nggak kurang kok. Coba aja, waktu aku dikeroyokin sama karyawan backroom PT Pos, yang diminta bukan yang aneh-aneh, tapi buku komputer seri 36 Jam. Waktu itu aku sanggupi bukan gara-gara merasa dipalak, tapi soalnya takjub sama keinginan baca buku komputer itu :). Kapan-kapan aku beneran ke sana lagi bawa bukunya deh. Waktu ada yang minta tambahan uang sih, aku cuekin aja — yang itu tipikal orang nggak kreatif yang musti cepat-cepat dibasmi.

Oh ya, jadi ternyata yang masih kurang itu minat menjual buku dengan harga terjangkau. Kalau memang yang bikin mahal itu bahan baku kertas, kenapa nggak dibuat buku yang ringkas tapi padat isi? Jangan bikin terjemahan, tapi kita bisa bikin saduran ringkas. Jangan bikin tulisan panjang melantur, tapi coba menulis dengan singkat dan menggugah. Bukan berarti buku panjang dan mahal nggak boleh dibuat sih. Tapi harus berimbang donk. Masa orang disuruh baca koran lagi koran lagi.

Eastern Chipmunk

Eastern chipmunk, a striped ground squirrel found mostly in eastern North America. Eastern chipmunks have five dark and two light stripes on their backs, extending from head to rump, and two stripes on their long, bushy tails. They are distinguished from other ground squirrels by the white stripes above and below their eyes.

Chipmunks often make their homes in sparse forests or farms, where they can build the entrances to their lodges in stone walls, broken trees, or thick underbrush. A lodge consists of a maze of tunnels leading to a large, leaf-lined nest. Chipmunks spend most of the daylight hours outdoors but head for their lodges before nightfall. Although they are excellent climbers, chipmunks live primarily on the ground.

Chipmunks eat nuts, seeds, insects, and occasionally birds’ eggs. Like all ground squirrels, they have large cheek pouches, sometimes extending as far back as their shoulders, in which they can store food. They collect and store nuts and seeds through the summer and fall. When the weather starts to get cool, all the chipmunks in a region suddenly disappear into their lodges, where they begin hibernation. On warm winter days one can often see chipmunk pawprints in the snow, as they will sometimes wake up and leave their lodges for brief periods when the temperature rises.

Mating season for Eastern chipmunks is mid-March to early April. The gestation period is 31 days, after which a litter of three to six is born. Baby chipmunks leave the lodge after one month and are mature by July.

The chipmunk most likely got its name from the noise it makes, which sounds like a loud “cheep.” You can occasionally see a chipmunk hanging upside down from a tree branch “cheeping” its call.

Source: C++ in a Nutshell, O’Reilly & Associates, Inc

Einstein Aja Gak Tau

Pada binatang berdarah dingin, metabolisme tubuh harus diatur sesuai dengan suhu lingkungan di sekitarnya. Cengkerik misalnya, mengeluarkan suara kerikan dengan frekuensi sebanding dengan suhu udara di sekitarnya. Ini frekuensi kerikan, bukan frekuensi suara yang dihitung dalam Hertz itu. Kita namai saja kekerapan deh.

Di Amerika Utara, suhu udara bisa diperkirakan dengan mendengarkan kekerapan bunyi cengkerik. Kita ukur berapa kali cengkerik mengkerik dalam 15 detik. Hasilnya kita tambahkan 40, dan kita peroleh perkiraan suhu udara dalam derajat Fahrenheit. Tapi tentu ini suhu udara menurut laporan cengkerik, yang artinya suhu udara pada semak-semak di sekitar rumah kita, bukan suhu di dalam rumah.

Di negara-negara yang lebih beradab, cengkerik menyesuaikan diri dengan satuan metrik. Maka suhu diukur dengan menghitung jumlah kerikan dalam 8 detik, lalu ditambahkan lima, dan hasilnya adalah suhu dalam derajat Celcius. Tambahkan 273, kalau mau mengukur hasil dalam Kelvin.

Cerita ini, dan ratusan hal-hal menarik lainnya, bisa dibaca pada buku terjemahan di samping ini: Einstein Aja Gak Tau. Terjemahannya memang banyak yang lucu, termasuk judulnya yang ngasal bener. Tapi dengan mengabaikan hal-hal kecil macam gini, isi buku ini adalah ratusan mutiara. Dianjurkan buat orang yang suka memikirkan sebab akibat dari hal-hal sehari-hari, dan untuk yang punya anak yang tak henti-henti bertanya tentang hal-hal semacam ini. (Jadi inget Yani).

Paradox Farnon Lagi

Darrowby, setting menjelang PD II.

Si tua Bailey dari T’Council House berjalan tertatih-tatih ke Skeldale House, membawa anjingnya. James Herriot mempersilakannya meletakkan anjingnya di meja praktek, tapi akhirnya James harus mengangkatnya sendiri. Si tua terkena arthritis, dan tidak kuat lagi mengangkat beban. Anjingnya juga sudah tua, terus terbatuk-batuk. “Kena bronkitis,” analisis James, “Dan kelihatannya nggak bisa sembuh. Tapi perlu diberi obat kalau situasi memburuk.”

James menyuntik si anjing dan memberi 20 tablet.

“Bayar berapa?” tanya Pak Tua. Tepat pada saat itu James melihat celana panjang Pak Tua yang sudah berlubang. “Nggak usah bayar,” kata James, “Yang penting berikan obatnya secara teratur.”

Kasus selesai. Tapi Siegfried ada di situ, dan kita ingat dia manusia paling logical yang ada di muka bumi bagian Darrowby. “Kenapa sih, pakai kerja cuma-cuma, katanya.” Dan alasan Siegfried bukan soal kepelitan. Situasi ekonomi masa itu memang kurang baik. Dan harga obat mahal. Kalau terus mengasihani orang, usaha akan ambruk, dan tak seorangpun lagi yang dapat tertolong. Argumen logik yang khas, dan sering terdengar bahkan sampai hari ini di korporate-korporate raksasa sekalipun. James cuma bisa memendam kejengkelan.

Tapi Bailey datang lagi minggu berikutnya, dan James mendapati Siegfried sedang menyuntik anjingnya lagi.
“Pak Herriot benar, Pak Bailey,” gitu terdengar, “Batuknya bisa seumur hidup. Tapi kalau memburuk, Anda harus membawanya ke sini lagi.”
“Terima kasih Pak. Berapa biayanya?”
“Ehm … errrh … iya … biayanya … errr …nggak usah lah.”
“Jangan gratis lagi, Pak Farnon.”
“Sssh, jangan dibahas lagi. Dan bawa tas ini. Ada 100 tablet di dalamnya. Kayaknya anjing itu perlu banyak obat juga.”
Pada saat itu Siegfried kita melihat lutut Pak Tua. “Tunggu,” katanya. Lalu terjadi ritual khas, lengkap dengan suara koin berjatuhan, dan gunting bergesekan dengan termometer, pembuka botol, dan benang-benang, yang selalu terjadi kalau Siegfried berusaha mengambil uang kertas, diakhiri dengan teriakan kemenangan.

“Ambillah.” katanya. Bailey sudah paham sekarang bahwa perlawanan itu mustahil. Jadi diterimanya uang itu. “Sekarang pulanglah,” kata Siegfried. Di pintu, Siegfried baru sadar bahwa Pak Tua itu kena arthritis. Dan di ujung session ini, Siegfried mengeluarkan mobilnya buat mengantar si Pak Tua pulang.

Apa kalau kita punya perasaan, trus segalanya runtuh? Sampai kedua dokter pensiun kemudian meninggal di tahun 1990-an, usaha praktek dokter hewan mereka tidak pernah runtuh. Cuman memang jadi penuh paradox ajaib versi Siegfried Farnon.

Gudang Amazon

Lagi asyik-asyik window-shopping di Amazon, tau-tau seorang rekan nyeletuk: Amazon kan bukan toko beneran — nggak punya gedung, nggak punya gudang.

Nah lo, abis baca majalah loakan di mana tuh?

Waktu Jeff Bezos mendirikan Amazon, dia memang cuma modal notebook dan uang secukupnya. Istrinya nyetir mobil kayak para pionir penjajah Amerika mengejar harapan di dunia baru di barat, sementara Jeff terus-menerus merancang business case di notebooknya. Dengan business case itu, dia memulai toko buku yang barangkali jadi toko buku pertama di web-world. Sejarah dimulai.

Tapi dengan jumlah customer yang mencapai puluhan juta sekarang, dari seluruh pelosok dunia, udah nggak mungkin Amazon beroperasi tanpa gedung. Ada beberapa gudang buku Amazon di beberapa negara di AS aja, belum yang di cabang-cabang Eropa dan Jepang.

A Short History of Nearly Everything

Buat orang-orang yang bukan ilmuwan, tapi suka penasaran: bagaimana alam semesta ini bekerja, bagaimana mekanisme semesta yang kompleks ini tercipta, dan bagaimana manusia melakukan penelitian untuk mengetahuinya, juga bagaimana proses evolusi membentuk berbagai makhluk hidup, dan bagaimana manusia tumbuh dan berkembang. Bill Bryson, penulis yang suka jalan-jalan, menanyai banyak kelompok-kelompok ilmuwan, dan menyajikannya kepada masyarakat non ilmuwan dalam bahasa yang bukan bahasa ilmiah formal: A Short History of Nearly Everything.

Buku ini dinyatakan sebagai Book of The Month bulan ini di Waterstone’s. Di Amazon Inggris, buku ini menempati ranking penjualan ketiga, padahal baru diterbitkan 2 Juni lalu. Di Amazon Amerika, dia menempati ranking keenam, setelah diterbitkan bulan lalu. Masih edisi hardcover, tapi harganya tidak terlalu mahal, soalnya Amazon memberikan discount 50% di UK dan 40% di US.

Banyak yang memperkirakan buku ini akan menandingi kesuksesan buku Stephen Hawking A Brief History of Time. Masa sih?

« Older posts Newer posts »

© 2024 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑