Merger Gojek dan Tokopedia tahun lalu, yang melahirkan Goto, adalah contoh gamblang bagaimana rekayasa valuasi dapat membentuk ilusi kekuatan korporasi, yang kemudian segera runtuh di hadapan realitas finansial. Sejak sebelum merger, Gojek dan Tokopedia sudah memproyeksikan angka valuasi yang tampak digelembungkan.

Pada 2018, Reuters melaporkan Tokopedia bernilai sekitar 7 miliar dolar AS, sementara Gojek pada 2019 sempat mengakui diri sebagai decacorn dengan valuasi 10 miliar dolar AS, yang kemudian dikoreksi TechCrunch karena dianggap berlebihan. Menjelang 2021, sejumlah analis independen memperkirakan valuasi gabungan yang wajar berada di kisaran 18 miliar dolar AS. Namun, saat persiapan merger berlangsung, target yang dipublikasikan melonjak ke 30–40 miliar dolar AS. Di sini tampak sekolah Gojek dan Tokopedia bersekongkol untuk menyetujui value lawan yang terlalu tinggi, sehingga enterprise value gabungan terangkat jauh di atas dasar fundamental.

Konsekuensi langsung dari penggelembungan itu adalah munculnya goodwill dalam neraca gabungan Goto. Goodwill sebesar 5,9 miliar dolar AS tercatat pasca-merger, angka yang mencerminkan selisih harga pembelian di atas nilai wajar aset bersih. Secara akuntansi, hal ini seolah sah. Namun dalam praktiknya goodwill sebesar itu adalah bom waktu. Goodwill tidak diamortisasi, melainkan diuji penurunan nilai secara berkala. Begitu ekspektasi yang melandasi valuasi, seperti sinergi ride-hailing, e-commerce, dan fintech, serta proyeksi monetisasi GMV—gagal terwujud, impairment tidak terhindarkan. Itulah yang terjadi pada 2023–2024, ketika Goto terpaksa menurunkan nilai goodwill lebih dari 5 miliar dolar AS, memicu kerugian bersih raksasa dan menghapus hampir seluruh nilai tambahan yang sebelumnya dibembargemborkan mereka dan dibanggakan pemerintah Indonesia.

Bagi pemegang saham publik, terutama mereka yang masuk saat IPO pada 2022 dengan valuasi hampir 28 miliar dolar AS, ini adalah kerugian nyata. Saham dibeli pada harga yang merefleksikan puncak optimisme, sementara harga pasar kemudian jatuh jauh di bawah nilai IPO. Investor publik menanggung kerugian kolektif, sedangkan para pendiri dan investor awal menikmati keuntungan di atas kertas, bahkan melepas sebagian saham pada valuasi tinggi. Terjadi asimetri risiko: keuntungan privat di fase awal, kerugian publik di fase akhir.

Mengapa hal ini tidak dianggap tindak kriminal? Kelemahan regulasi, yaitu terdapat pembedaan antara overvaluasi strategis dan penipuan (fraud). Overvaluasi lahir dari kesepakatan bisnis: kedua pihak saling memberi harga tinggi, berharap narasi sinergi akan meyakinkan investor. Selama hal itu dicatat dalam dokumen resmi dan prospektus IPO, secara hukum investor dianggap telah mengetahui risikonya. Fraud baru terjadi bila ada pemalsuan data material, misalnya memalsukan pendapatan atau menciptakan transaksi fiktif. Dalam kasus Goto, prospektus IPO dengan jelas mencantumkan kerugian besar, biaya promosi tinggi, dan risiko sinergi. Artinya, meskipun valuasi merger dan IPO sangat optimistis, regulator menilai tidak ada kebohongan material.

Fenomena ini bukan unik Indonesia. Di pasar global, kasus WeWork, Uber, hingga Lyft memperlihatkan pola yang sama: valuasi privat yang menggunung, IPO dengan narasi pertumbuhan, lalu koreksi tajam di pasar terbuka. Dalam semua kasus tersebut, pendiri tidak dipidana, sebab hukum pasar modal lebih menekankan prinsip buyer beware: investor publik harus menilai risiko sendiri. Dengan kata lain, penggelembungan valuasi yang menghasilkan goodwill besar lalu impairment besar tidak dianggap kecurangan hukum, melainkan hasil kompromi strategis yang sah secara akuntansi, meskipun jelas-jelas hal ini sangat merugikan investor publik.

Dari perspektif pasar, investor publik membayar mahal untuk penggelembungan yang dirancang untuk memperkaya pendirinya itu. Dari perspektif sejarah, ini menjadi pelajaran keras tentang bagaimana narasi pertumbuhan dan sinergi dapat mengangkat valuasi jauh di atas kenyataan, hanya untuk dikoreksi brutal oleh pasar ketika fakta finansial tidak lagi dapat disembunyikan.