Ini joke lama yang aku ceritakan ke Abdoul Karim waktu kami sedang menyantap makan siang kami di suatu akhir pekan. Aku terjemahkan ya :).
“Bon appetit, Koen.”
“Merci, Abdoul. Hei, dulu konon di sebuah hotel di suatu pagi, ada orang Perancis memberi salam ‘bon appetit’ kepada orang Arab. Si orang Arab mengira ditanyai namanya. Jadi dia jawab ‘Abbas Hassan’.”
“Hahaha.” (Tertawa 1)
“Belum selesai. Nah, siangnya mereka ketemu lagi waktu makan siang. Orang Perancis memberi salam lagi ‘bon appetit’, dan si Arab menjawab lagi ‘Abbas Hassan’. Tapi lalu dia curiga. Masa orang bertanya nama dua kali.”
“Lalu?”
“Ya, dia ke toko buku kecil di situ, cari kamus Perancis-Arab. Dan akhirnya tahu ‘bon appetit’ artinya ‘selamat menikmati’.”
“Pintar.”
“Ya, masalahnya di toko buku itu tidak ada kamus Arab-Perancis. Jadi dia tidak tahu harus menjawab apa.”
“Lalu?”
“Malamnya, si Arab berpikir mendahului memberi salam; biar dia tahu apa seharusnya jawabannya.”
“Hahaha.” (Tertawa 2)
“Jadi begitu ketemu si Perancis, dia menguluk salam dulu: ‘bon appetit’. Ugh, sialnya … si Perancis malah menjawab … ‘Abbas Hassan’.”
“Kok gitu?”
“Ya, dia pikir jawaban untuk ‘bon appetit’ versi orang Arab memang ‘Abbas Hassan’.”
“Hahaha.” (Tertawa 3)
“Tahu nggak, aku baca joke itu dari siapa?”
“Siapa?”
“Mr Wahid, presiden kami.”
“Hahahahahahaha.” (Tertawa 4 dan panjang)
Ya, memang humor Mr Wahid itu multikultural dan bisa dinikmati orang berbagai dunia. Aku menikmati tulisan beliau sejak aku doyan baca kolom2 Abdurrahman Wahid di Tempo tahun 1980an. Budayawan yang cerdas, aku pikir waktu itu. Tapi politikus yang menyebalkan, dan presiden yang disastrous, aku pikir sekarang :).
Dalam rangka ingin menemui lagi Mr Wahid budayawan tersayang itu, aku datang ke pengajian Isnet lagi, di kediaman keluarga Motik, Menteng, Jumat malam — 8 jam setelah operasi mencabut geraham atas dan bawah.
Gusdur yang ini tidak mirip yang politikus. Ia berdamai dengan banyak pihak: Amien Rais, PAN, ahmadiyah, zionist. Perbaikan hanya bisa dilakukan dengan dialog, dia bilang. Kedekatannya pada kaum zionist diakuinya sebagai satu2nya langkah yang mungkin — kita loyo di kekuatan militer dan ekonomi, tetapi menginginkan adanya solusi. Maka sambil menerima penghargaan Simon Wiesenthal, ia juga mempertanyakan: mulai kapan Israel benar2 akan memulai demokrasi dan menghentikan diskriminasi rasialis.
Hal-hal yang sering kita dengar dari beliau juga diulangi. Misalnya bahwa pergerakan nasional didorong oleh orang2 Islam multialiran yang memiliki fundamental Islam dan nasionalisme. Juga hasil muktamar NU di Banjarmasin (sebelum kemerdekaan) bahwa cita2 yang dituju tidak berbentuk negara Islam. Sambil becanda, Gusdur juga bercerita bahwa menurut Hidayat Nur Wahid PKS itu bukan organisasi Islam, sementara menurut Tifatul Sembiring PKS itu organisasi Islam. Perbedaan fundamental dalam mendeskripsikan organisasi pun tidak membuat organisasi harus macet. Cuman mengenai soal PKB, Gusdur malah tegas. Kepemimpinan PKB dinilainya sudah berbau uang, dan harus dirombak total.
Ada beberapa halaman tulisanku tentang perbincangan malam itu. Mungkin aku save di tempat lain saja nantinya. Tapi yang aku cukup takjub adalah bahwa Gusdur betul2 demokrat budaya. Penanya boleh mengkritik dirinya cukup keras, termasuk menyebut bahwa Gusdur bukan presiden yang berhasil, serta menganjurkan Gusdur tidak maju lagi. Tapi ekspresi Gusdur tak berubah. Beliau tetap menjawab santun dan santai. Kadang selisih konteks juga sih :).
Terakhir, ada yang mau aku cuplik. Beliau menyebut kenapa komunikasi suka tak sampai. Bukan hanya soal salah konteks (eh, ini opini aku dink), tetapi terutama soal bahasa. Di Indonesia ada bahasa LSM/intelektual/mahasiswa, ada bahasa birokrat, dan ada bahasa rakyat. Ketiga bahasa itu belum menyatu. Hey, bahasa blogger di mana? Kayaknya di yang pertama ya. Pantas, sulit sekali memasyarakatkan blogger :)
Seperti gaya Gusdur yang berhenti bicara waktu pingin berhenti. Aku juga berhenti menulis waktu pingin berhenti. Mudah2an Gusdur tetap jadi Bapak Bangsa, dan tidak jadi presiden lagi :). Tentu yang terakhir ini juga diharapkan untuk Bu Mega dan Oom SBY. Kita pingin orang baru, bersemangat baru, lepas dari klik-klik lama.
sepakat om, saya lebih setuju jika Gusdur tetap menjadi guru bangsa saja
Tapi siapa yang mau jadi muridnya? :D
Gusdur dilawannnnn,
Eh emangnya Mbah Gusdur mirip Shogun?,
Mungkin memang mirip dengan Shogun Tokugawa kalii :)
Mr. Koen saja jadi presiden ;) Out of topic, sepertinya harus operasi geraham di Borromeus ya, biar bisa langsung ikut pengajian Gus Dur + nonton konser (ugh, masih “dendam” ngga dikasih info konser. Beethoven gitu loh…)
Sorry yach. Abdi mah nggak bercita2 jadi presiden. Gus Dur aja yang selalu tertipu, mengira presiden itu posisi yang mulia :D
Gusdur memang ok dengan joke( ni juga sam bil senyum2 Mas) dan pandangan2nya.
Hanya… ya jangan ah kalo buat jadi presiden lagi. Begitu juga buat beliau2 yang sudah pernah atau masik terikat dengan klik2 lamanya…
Semoga harapan ini tidak sekedar harapan.
Yah…masalahnya: orang baru belum tentu membawa angin baru…lha gimana? Lha wong penyaringannya juga pake saringan yang sama, apa nanti hasilnya juga gak yang itu2 aja?
Hihi :). Pertanyaannya Gus Dur juga kayak gini. Hayo dijawab :)
Ga ikutan komentar soal Gusdur.
Cuma mau komentar kalau joke ini pernah dilontarkan oleh Warkop puluhan tahun lalu ketika manggung (saya ada nih dlm format mp3). Tapi konteksnya orang Indonesia dengan orang Belanda :)
Lucu tenan.
salam kenal, boleh minta rekaman mp3 nya warkop?
saya pencinta siaran radio nya warkop yg dibuat jaman baheula itu :D
bisa kontak saya di labima@gmail.com
makasih
Bima
Gimana caranya supaya blogger bisa memasyarakat?
Gampang aja. Jadikan Enda, Priyadi, Budi Rahardjo dan Budi Putra sebagai Bapak Bangsa. Tapi bahasa mereka mungkin harus disesuaikan dengan bahasa masyarakat (baca: Gus Dur) yang multikultural dan bisa dinikmati orang berbagai dunia. :-)
Mendukung subjek secara terbuka cukup beresiko. Tapi saya abaikan resiko itu, sebab saya ingin presiden yang memangkas anggaran dengan mulai memangkas Departemen…
Sepertinya di sini guru jangan sampai masuk lingkarang birokrasi. Sebab kalau sudah di dalam situ maunya “menggurui” bukan “mendidik”, “menuntun” dan “mendorong” lagi.
hmmm… ada juga nih yg sama ma suamiku, peng-idola gus dur :D
Hmmm, asal jangan aku aja yang dituduh jadi pengidola, haha :)
mending gusdur disuruh melakoni pekerjaan baru, pelawak. kayaknya cocok. hehehehe…
berhubung aku generasi yang mulai mengenal dunia di era tahun 2000-an, aku belum menemukan sisi positif dari gusdur. mungkin memang bener yah, masalah komunikasi dan informasi. mungkin generasi sebelum tahun 2000-an masih mengenal gusdur sebagai tokoh yang berkharismatik dan intelek. jadi masih punya pandangan positif terhadap gusdur. kalo generasiku, memandang gusdur sebagai tokoh yang asal ngomong dan dipertanyakan kredibilitasnya sebagai seorang informasi.
yah, kembali lagi, ini adalah masalah pandangan yang terjadi karena berbeda cara mengkomunikasikan dan menerima informasi.
(maaf sebelumnya kepada semuanya) ……. Untuk hewan Qurban aja harus yang betul-betul sehat (tidak cacat fisik), lha ini untuk pemimpin negara, apa tidak ada lagi pilihan ?
@Yoyo: Tapi justru soalnya kita sedang memilih manajemen bangsa, bukan qurban. Soal fisik jadi tak terlalu penting. Orang akan ingat bahwa Presiden Roosevelt yang cacat fisik pun berjaya lebih dari misalnya Nixon yang sehat secara fisik tapi barangkali cacat secara mental. Pimpinan dari TNI pasti paling OK secara fisik, tapi dari kecerdasan memimpin masyarakat majemuk …. hmmm …
Soalnya memang aku juga pinginnya orang lain selain Kang Dur, entah cacat atau tidak.
gus dur tih emang salah satu favorit saya…
guyonanya emang berkelas dan unik serta segar segar
aku setuju kalau gusdur dijadikan bapak bangsa
sang pejuang demokasi
Gusdur kan emang dari dulu tokoh kontroversial Pak Dhe Koen…. ya… mungkin kalo pas ngelawak mirip Gusur-nya Lupus…. lah… (sori ya bagi pengagum Gus Dur…) hehehe…
tapi emang harus diakui, intelektualitas beliau memang diatas rata-rata orang Indonesia pada umum-nya…
Yup setuju…. Gus Dur, Mbak Mega gak usah jadi presiden lagi….
Kalo Gus Dur jadi Presiden lagi, wah gimana kalo pembisik-nya membisikan hal-hal yang salah….
Kalo Mbak Mega jadi Presiden lagi…. nanti banyak BUMN yang di lego ke luar negri sama para menterinya….
Kalo Pak SBY jadi Presiden lagi….
nanti…. hhmmmmm apa ya…
Atau Gini…. Gimana Kalo Pak Dhe Koen yang jadi Presiden ?
hehehee… gue yakin, nanti pasti ada pelajaran wajib cara membuat blog bagi murid-murid SD….
:)
Kayaknya kalau aku punya kelebihan, kelebihan itu adalah bahwa aku sadar diri tidak pantas menjadi presiden, pengemban amanah atas hayat 220 juta umat manusia. Andai tiga tokoh itu punya kelebihan seperti aku … :D :D :D
Mau yang jadi presiden Gus Dur, mau Gus Pur, mau Gus Hiding, Mau Gus Mao, ya untuk apa dipikirin. Ga ada efeknya bagi saya. Tetapi kalau saya yang jadi presiden pasti efeknya bagi bangsa akan terlihat jelas. SIDE EFECT alias negara terancam bubar. Soalnya saya ga bisa jadi presiden. Jangankan di negara ini, dalam opera kampung saja saya cuma dipercaya jadi tukang kebun, bagaimana dalam kehidupan nyata. Kalau usulku sih yang jadi presiden itu…………………………..(yang ga mencalonkan diri saja).
Menarik sekali obrolan mengenai gusdur ini.
Saya sering mengamati gusdur baik itu lewat acara kongkow, dari artikel bahkan saya punya buku kumpulan artikel beliau. Saya sangat kagum akan kegigihan beliau dalam berjuang. beliau senantiasa simpati kepada siapapun meskipun itu non muslim.
Salah satu strategi “gila” beliau saat jadi presiden adalah: jalan2 ke luar negeri saat negara lagi gonjang-gonjing. wal hasil alhamdulillah, negara kita tidak terjadi disintegrasi, meskipun hawa perpecahan semakin panas.
Beliau terlalu berani dan banyak musuhnya. beliau digulingkan dari kursi kepresidenan dengan cara yang tidak adil. Kader-kader beliau masih sedikit yang profesional. hayo… siapa yang pengen jadi kadernya Gus Dur?
Gitu aja koq repooot………….!!!!
lbih enaq jadi rakyat di negeri impian aja ya….
Saya mengenal bp gus lewat media2 emang beliau orang intelek tapi saya kurang setuju bp gus membela ahmadiah
Saya klo baca ada tulisan mengenai GD atau komentarnya GD selalu tak lewatkan saja. membuang-waktu membacanya. Maap kepada para wartawan maupun GD. Kenapa? Selalu defensif dan tidak seperti dulu sebelum jadi presiden RI.
Hmm… penyanjung Gus Dur rupanya, bangga pula… Astaghfirullah… Saya pikir yang begini ini sudah habis… Taklid atau…?!
Apakah ia ahli fiqih? Ulama dalam arti sebenarnya? Kekaguman yang sia-sia… niscaya. Anggota JIL kah?
Gus Dur is ok. Tetapi untuk saat sekarang saya sih lebih cocok dengan “Gus” Nun.
Siapa itu gus nun? Cari sendirilah..he..he..
orang harus bersifat adil… dengan menghoramti pendapat orang lain kita sudah berbuat adil. oleh karna itu untuk mengubah imega adil itu sangat sulit itu tergantung pada yang menilainya…. semua sifat itu memilki standard penilaian.. jadi pada intinya kita sebagai manuasia harus saling menghormati setiap pendapat orang… bila pendapat seseorang salah kita tidak boleh terlalu menyalahkan.. sebaiknya kita beri mtau tentang pengertian yang sebenarnya..