Sebagian besar dari kita, aku yakin, belum pernah dengar nama kota ini: Coventry. Kecuali minoritas yang pernah doyan baca Sapta Siaga. Atau baca sejarah Perang Dunia II bagian Eropa. Lima tahun lalu, aku menjejak Coventry. Masih terbayang jelas detik-detik airport coach itu melaju masuk ke Coventry. Yang pertama dikenali tentulah puncak katedral St Michael, yang sudah aku baca sejarahnya beberapa hari sebelum terbang ke sana. Aku nggak sempat cari tahu kenapa mereka memilih St Michael. Tapi malaikat yang ditugasi mengatur hukum-hukum alam itu memang pas untuk Coventry dengan nuansa science & engineering yang mnewarnai kota. Juga logo kota, yang tadinya gajah, tapi terus ditambahi burung phoenix.
Phoenix, lambang pribadi yang mensikapi kehancuran sebagai kesempatan besar untuk membentuk pribadi baru yang jauh lebih baik dan lebih segar, cukup sering juga aku bahas, di weblog ini dan di tempat lain. Skip aja lah kali ini. Artefax lain Coventry adalah Godiva. Ini seorang putri yang di masa lalu memprotes penindasan terhadap rakyat (dalam bentuk aturan finansial yang terus menerus diperberat) dengan menelanjangi diri dan berkeliling kota dengan naik kuda. Tidak ada yang menistakan diri dengan mengintip sang putri, kecuali seorang Tom.
Tapi Coventry bukan sekumpulan artefax. Kota ini tenang, menyembunyikan dinamika di balik dinding-dinding sunyinya. Menyembunyikan inovasi masa depan di balik kenangan romantiknya akan masa lalu. Dan menyimpan kehangatan hati di balik udaranya yang lebih sering terasa dingin menggigit.
Itu Coventry, lima tahun yang lalu. Tepat lima tahun. Wow, apa yang udah terjadi dalam lima tahun? Pengaruh apa dari Coventry yang aku bawa lima tahun terakhir? Inspirasi dari si burung phoenix, iya, terutama. Juga …