Pagi, Bandung Timur bertirai kabut tipis lagi. Das Rheingold diiringkan. Kenapa tidak? Pasti lucu kalau tirai itu diperciki nyanyi peri sungai Rhein. Tapi waktu badan harus dibawa menembus kabut, Rheingold diteruskan di dalam kepala … sampai ke Siegfried. Berhenti dan berulang di Prelude dari Act 2. Udah lama nggak dengar versi asli yang ada di luar kepala :).

Udah waktunya kayaknya untuk becermin dari Prelude itu. Becermin atas kegalauan yang timbul selalu dari hati kita sendiri, dari hati yang bebas, kuat, dan merdeka. Dari sang diri. Disharmoni laksana ombak menyapu hati terus menerus. Melemah perlahan untuk datang lebih kuat. Terus menerus. Tentangan datang terus menerus menjelma badai. Membuat hati makin kuat, makin menjadi.

Dan tatkala ombak menjadi sayup, hati justru tak tentram lagi. Ada apa di balik kesayupan? Hati hanya siap hadapi tantangan. Hanya siap mencercah terang di tengah gelap badai. Hanya siap mencipta teduh di tengah nyaring keriuhan badai.

Hidup dari satu kegalauan ke kegalauan lain. Menghadapi satu tantangan ke tantangan lain. Bahkan sebelum kita sadar siapa kita sesungguhnya. Nilai kemanusiaan justru terletak pada jiwa petualangnya. Bukan sekedar pejuang yang melakukan pembelaan; tapi dalam arti berani memilih tantangan. Saat di atas dada masih terdapat tanda tanya besar.

Takdir, menjadi permainan kalkulus semesta yang menarik. Tapi Kekuatan Tuhan adalah sesuatu yang terintegrasi dalam diri kita. Maka setiap detik, kita memutuskan dan mencipta keajaiban.