Aku masih sering baca bahwa takwa diterjemahkan sebagai “God Fearing” — penterjemahan yang nggak masuk akal bahwa takwa identik dengan takut. Memang kita selalu diingatkan bahwa “Jangan takut pada apa pun, selain kepada Allâh.” Tapi ini adalah guidance internal, yang barangkali nggak salah juga kalau ditulis ulang misalnya jadi “Takutlah pada diri sendiri” atau “Takutlah hanya pada hati nuranimu” yang arti implisitnya hanyalah: jangan takut pada faktor di luar sana. Tuhan tidak di luar sana.

Setiap hari, berulang kita menyebut Allâh sebagai Sang Mahakasih Mahasayang. Di antara satu makhluk dengan makhluk lainnya memang ditumbuhkan juga rasa sayang, rasa kedekatan, rasa kasih. Tapi jarang ditemukan (dan sebenarnya, aku bener-bener belum pernah merasakan) adanya unconditional love yang sebenarnya dari manusia atau makhluk yang mana pun. Kita coba sayangi manusia, dan selalu kita harus menghadapi kekecewaan karena yang kita sayangi ternyata memang cuma manusia. Itu manusiawi — jangan mengharap lebih. Unconditional Love yang sesungguhnya hanyalah Rabb yang mengasuh kita, membimbing kita, menghangatkan hati kita, menguatkan kita, dan selalu menyayangi kita; bahkan setelah sebesar apa pun kedurhakaan yang telah kita lakukan. Unconditional — tidak menghilang, bahkan tidak pernah berkurang sedikit pun.

Takwa, lebih tepat diterjemahkan menjadi keberanian hakiki, karena kita bisa merasakan adanya Unconditional Love yang selalu mengisi kita. Kita berani benar, karena Allah menemani kita selalu. Kita berani mengambil resiko melakukan kesalahan dalam menjalani apa yang kita yakini harus dilakukan, karena sayang Allah selalu dilimpahkan pada kita, tanpa kecuali, tanpa syarat.