Salah satu yang paling menarik kalau lagi membahas hidup, tentulah, Mite Sisifus (The Myth of Sisyphus), yang pernah dikaji oleh Camus. Barangkali pernah aku tulis juga. Males recheck ah.
Sisifus, seperti juga kita, dikutuk para dewa. Dia hidup dengan terus menerus mendorong batu besar ke puncak sebuah gunung, lalu membiarkan batu besar itu menggelinding ke lembah yang dalam, untuk kemudian harus didorongnya lagi ke puncak gunung, terus menerus, tanpa mengenal lelah, dan barangkali juga tanpa bisa mati. Hidup yang absurd, seperti juga kita, di mana kita tak bisa berlepas dari takdir yang mengikat dan memasung keceriaan kemanusiaan kita.
Tapi dalam keabsurdan, kita masih manusia, yang punya kemampuan kemanusiaan untuk mengatasi. Dalam keabsurdan, kepribadian kita tidak harus jatuh. Dalam keabsurdan, kecerdasan kita mengenali nilai-nilai, membentuk hikmah, dan akhirnya mengakui betapa berartinya, betapa indahnya, dan betapa berharganya hidup.
Aku ogah cerita terlalu banyak tentang Sisifus. Edisi Bahasa Indonesianya udah terbit sekitar lima tahun yang lalu, atau mungkin lebih. Tapi Camus menyatakan bahwa kita harus menyimpulkan bahwa Sisifus bisa berbahagia.
Dan kenapa harus menggantungkan diri pada kausalitas absurd dalam semesta fana ini untuk memutuskan untuk menjadi manusia yang bernilai dan berbahagia?