Mild und leise wie er l?chelt, wie das Auge hold er ?ffnet Seht ihr’s, Freunde? Seht ihr’s nicht? Immer lichter wie er leuchtet, stern-umstrahlet hoch sich hebt? Seht ihr’s nicht? Wie das Herz ihm mutig schwillt, voll und hehr im Busen ihm quillt? Wie den Lippen, wonnig mild, s??er Atem sanft entweht Freunde! Seht!
“Anda bisa lihat, kami sudah berusaha maksimum, tapi kondisi beliau makin turun saja,” kata dokter itu, dingin, lebih dingin dari udara ruang CCU itu. Masih terbayang suara yang sama pagi itu mengingatkan untuk tidak memindahkan Papap ke RSPAD atau ke manapun, dengan alasan bahwa kalau kondisi beliau jadi kritis di jalan, tidak akan ada dukungan medis yang memadai. Tapi di akhirnya di ruang ini pun, dalam kondisi kritis, tidak ada juga dukungan medis yang bisa dia berikan. Dokter hanya manusia, yang juga terkungkung tembok jahat RS Borromeus ini. Shalat malam yang belum selesai kulaksanakan, kuteruskan di ruang CCU ini, dengan wajah yang terus memandangi wajah resah pahlawanku yang masih mencoba terus berjuang. Resah, mendesak, terus berjuang. Tahajjud kuselesaikan. Tanpa ampun layar monitor di atas menampilkan angka-angka yang membuyarkan optimisme. Aku tak perlu optimisme. Aku hanya perlu dzikir: pintu yang membuka batas antara makhluk dan khaliknya, yang menghilangkan batas antara kelemahan manusiawi dan kekuatan tanpa batas dari Rabb-nya, yang mengalirkan kasih sayang ilahiah ke setiap titik ruang waktu di semesta. Dzikir mengalir. Shalawat. Dan doa-doa.
Namun angka-angka itu tidak lagi asimptotik. Mereka mendadak terjun bebas. Aku manusia biasa, lengkap dengan kegentaran juga. Kucoba lihat kembali wajah pahlawanku. Ajaib, tidak ada lagi keresahan. Yang ada hanya ketenangan. Kemantapan. Kucium dahi pahlawanku, masih terasa panas. Kulafadzkan asma ilahi terus menerus. Dan grafik di monitor menampakkan garis lurus. Masih belum putus asma ilahi kulafadzkan. Gagah sekali wajah pahlawanku. Waktu menunjuk pukul 23.17 WIB, 16.17 GMT.
Selanjutnya adalah urusan manusiawi lagi. Bertelefon ke keluarga, SMS ke rekan2 dekat, mail satu kalimat ke Blogger (sempat2nya). Juga urusan administrasi. Pihak RS terang2an tidak mau lama2 lagi dibebani kami. Sambil berurusan dengan administrasi, aku lihat running text di TV: Yasser Arafat meninggal dunia. Ya Allah, Kau panggil juga pahlawanku yang lain. Sempat ngelamun: kira2, apa yang diperbincangkan Papap dengan Yasser Arafat di sana sekarang? Tapi lamunan tak bisa lama. Ambulance segera menjemput kami ke Cimahi.
Udara Cimahi masih beku, waktu keluarga dan tetangga siap memandikan Papap. Aku bersiap, mencoba tabah melihat wajah gagah itu lagi. Aneh, wajah itu sudah berubah. Kali ini beliau bisa tersenyum. Dan terus tersenyum selama dimandikan dengan kebekuan air Cimahi itu. Jadi ingat, aku nggak sengaja menggumamkan “Mild und leise wie er l?chelt” dari Tristan und Isolde terus menerus beberapa hari di RS sambil menunggui. Aku sisiri rambut beliau untuk yang terakhir kali. Cakep, gagah, dan masih dengan senyum. Lalu kafan menutupi wajah bersenyumnya.
Waktu terus mengalir. Tamu-tamu yang simpatik. Shalat, doa, dan shalawat. Upacara dan tembakan salvo. Penghormatan terakhir.
Suatu hari aku akan menyusul, Pap. Bisakah aku juga menyusul dengan kegagahan dan dengan senyuman?