Month: September 2004

Lab Broadband

Cerita minggu ini: bantuin Bid SDM bikin Lab Broadband Access, which is the Broadband Competence Center di Divre III. Benchmark ke Jakarta, bikin draft desain, pilih vendor, koordinasi, ganti vendor, koordinasi lagi, trus danti owner proyek ke Kandatel Bandung. Kita terusin sebagai konsultan lepas. Tapi mereka kerja lebih efektif. Dan hari Selasa ini diresmikan hasilnya. Congrats, chums!

Teror

Lawan!

Kayaknya sangat ironik. Di satu sisi, kita terhujam luka oleh ledakan di kawasan Kuningan, dan jadi geram teramat sangat, dan bertekad melakukan apa pun untuk mengakhiri riwayat terorisme di Indonesia. Di pihak lain, pihak yang memimpin upaya pelacakan teroris-teroris itu ternyata juga tidak terlalu mudah untuk dipercayai.

Bisakah misalnya orang yang takluk di depan preman yang menyerbu kantor Tempo itu dipercayai untuk tampil gagah melawan teroris yang bersembunyi di balik tabir besar nan gelap itu? Tidakkah kita khawatir bahwa kali ini pun mereka berlaku tak lebih sebagai corong pihak di belakang layar?

Tidakkah kita khawatir bahwa pengadilan yang membebaskan para preman dan menghukum pembawa berita kita itu juga membuat kesalahan yang sama waktu membuat penilaian atas para tersangka teroris? Benarkah mereka benar2 telah memenjarakan teroris yang sesungguhnya?

Tidakkah kita khawatir bahwa barangkali mereka secara tidak sengaja akhirnya juga bekerja untuk para teroris?
Lawan teroris! Lawan!

Vonis atas Tempo

Quoting aja:

Vonis satu tahun penjara oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat terhadap Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Bambang Harymutri dalam kasus pencemaran nama baik Tomy Winata, Kamis (16/9), menuai kecaman dari banyak kalangan.

Ketua Umum AJI Indonesia, Eddy Suprapto menilai, pemenjaraan wartawan dalam masa reformasi ini benar-benar memasung kreatifitas pekerja pers, dan merupakan ancaman terhadap kebebasan berekspresi sebagaimana dijamin dalam konstitusi dan Undang Undang nomor 40/1999 tentang Pers. “Digunakannya pasal-pasal KUHP terhadap para jurnalis menunjukkan, aparat hukum menganggap UU Pers tidak ada,” katanya.

Jangan sampai terjadi kriminalisasi pers juga dilontarkan Presiden Partai Keadilan Sejahtera, Hidayat Nur Wahid. “Agar tidak terjadi kriminalisasi pers, Undang-undang Pers harus diberlakukan,” katanya. Calon Presiden dari Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono bahkan menyatakan, kebesasan pers dan hal-hal yang berkaitan dengan semangat reformasi tidak boleh dihalang-halangi dengan pelbagai kasus yang bisa mengganggu reformasi itu.

Jelas, menurut pengamat dan praktisi hukum, Todung Mulya Lubis, keputusan menghukum Bambang Harymurti satu tahun penjara, adalah tindakan membunuh kebebasan pers di Indonesia. “Putusan sama sekali tidak mempertimbangkan Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik,” katanya.

Kecaman juga datang dari Sabam Leo Batubara, Ketua Harian Serikat Penerbit Surat Kabar Pusat yang mengatakan, keputusan hakim itu sudah membingungkan rakyat. Karena baru sekitar dua minggu lalu pengadilan tinggi memenangkan Tempo dalam kasus sama. Tapi, seperti dikatakan Anggota Dewan Pers ini, “Kok sekarang pengadilan di bawahnya justru mengatakan ada penghinaan dan berita bohong. Ini aneh”.

Sementara itu, Atase Pers Kedutaan Besar Amerika Serikat, M Max Kwak mengaku khawatir, keputusan memenjarakan wartawan akan merusak tatanan demokrasi yang sudah dicapai. “Padahal, pers adalah elemen yang sangat penting dalam demokratisasi di Indonesia,” katanya. Apalagi, masalah Tempo ini sangat menjadi perhatian publik di Amerika Serikat karena reputasi internasional Tempo dalam keunggulan jurnalistiknya.

life.after.theory

Nicholas Royle: The first question that I would like to ask is, I suppose, a question in three parts and it’s about the acolyte and anacoluthon. The acolyte is the follower and thus is the apparent opposite of anacoluthon. Anacoluthon is what fails to follow; it’s what’s non-sequential or literally ‘without following’. So I thought with this question about the acolyte and anacoluthon I could take anacoluthon first, seeing as it’s second, and ask whether we could read ‘life.after.theory’ as an anacoluthon. I think I’ll just leave that as the first part of the question…

Jacques Derrida:I would say — in the most formalized form — of the logic which was at work in my lecture, in fact in your questions too, that there is no simple opposition between the acolyte, or the ‘acoluthon’ and the ‘anacoluthon’. That is a problem, because to accompany, or to follow in the most demanding and authentic way, implies the ‘anacol’, the ‘not-following’, the break in the following, in the company so to speak. So, if we agree on this, a number of consequences will follow: you cannot simply oppose the acolyte and the anacoluthon — logically they are opposed; but in fact, what appears as a necessity is that, in order to follow in a consistent way, to be true to what you follow, you have to interrupt the following. So let me leave this statement in its abstract form and then

Tentu, sejarah menunjukkan bahwa aku nggak bisa jadi saksi perbincangan menarik ini. Di tahun 2001 itu, orang-orang Loughborough meng-email-ku, bilang bahwa tempat sudah penuh, dan bahwa cek yang aku kirim sudah dimusnahkan. Dan baru tahun 2004 aku bisa dapat dokumen, dalam bentuk buku “life.after.theory”, yang memang bukan berisi lecture-nya, tapi risalah conference-nya.

Bisakah aku memohon secarik waktu untuk sekedar menitipkan mataku pada halaman-halaman buku ini, duhai rezim ebitda, agar kembalilah sedikit kehidupan pada tubuh yang sedang bergerak lincah namun tanpa jiwa ini?

Undangan Alumni Chevening

“And you?”

“Coventry. I was sent to Coventry.”

Dia senyum lebar. Trus memberi isyarat mengunci bibirnya. Buat yang waktu kecil nggak sempat baca buku Sapta Siaga: frasa dikirim ke Coventry berarti dicuekin, nggak diajak bicara, biasanya sebagai hukuman. Mudah2an bener Sapta Siaga. Tapi kali2 Lima Sekawan atau Pasukan Mau Tahu.

“And what did you study in Coventry?”

“I studied communications.”

“Amazing! You were sent to Coventry to study communications!”

Gitu lah, salah satu small chat malam kemaren. Ceritanya para alumni Chevening diundang chatting di rumah British Ambassador di Jl Teuku Umar, Jakarta, sambil merayakan 20 tahun program Chevening di Indonesia. Mulai lepas Maghrib, acara dimulai dengan cari teman buat saling usil sana sini. Sambil cari2 Coca-Cola. Jam 1900, tuan rumah Charles Humfrey yang ramah tamah itu mengguncang lonceng untuk membungkam hadirin, trus mulai pidato singkat, trus menyerahkan ke Hassan Wirayudha, yang pidato sedikit lebih panjang, trus … udah … makan aja sambil cari temen ngobrol lagi.

Dari ex-FCO4 of Chev-2001, cuman hadir Ika dan Ari, yang masih enak diculik buat ngobrol sambil cuil-cuil kue di sana sini. Ada juga Benno yang masih ingat masukin aku ke mail list Chev-2000, soalnya aku memang terpaksa salah angkatan. Dan dari Chev-2002, kejutan, ada Nophie — makhluk yang sembunyi cukup lama dan aku pikir nggak akan bisa aku temui lagi di dunia nyata.

OK, tapi akhirnya kita sungkan juga meriuhi rumah orang sampai malam. Jadi akhirnya kita temui Mr Humfrey buat pamitan.

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorenUp ↑