Hari pertama, kita disuruh berguling-guling di lapangan, sampai belasan orang muntha-muntah. Trus semua dapat hadiah kalung tali yang luar biasa tebal (aku nggak mau susah-susah mencoba mengingat namanya), dan boleh mulai lari, dengan kaos dan celana hijau, kayak tentara. Hujan mulai turun. Sebuah kali kecil berair hitam meluap.
— Omong2, kalau perut Anda nggak kuat, mendingan baca posting lain deh —
satu per satu kita disuruh masuk. Bukan cuma memasukkan badan, tetapi harus lompat dan jungkir balik di dalam air hitam. Aku optimis. Nothing to loose. Paling juga pingsan, masuk RS :). Tapi airnya deras. Begitu kepala masuk ke cairan hitam dan bau itu, badan terseret. Air hitam itu tertelan beberapa galon *bo-ong*. Tapi aku masih hidup. Aku menepi. Di tepi semuanya diperintahkan tiarap. Menempel ke tanah. Ke jalan. Ke lumpur. Makhluk di sebelahku batuk-batuk. Meludah. Menyemburkan dahak. Dan semprotannya pas ke mukaku. Trus aku berpikir …
Bah, yang tadi lebih jorok dari ini. Aku nggak peduli.
Aku nggak peduli. Tahu-tahu kalimat ini jadi semacam spirit buat aku.
Waktu mulai lari lagi, aku bisa lari lebih kencang. Kayak orang yang nggak bisa kelelahan. Aku nggak peduli. Mau capek, mau sakit, mau pingsan, mau mati. Nggak peduli. Masuk got yang dialiri kotoran-kotoran, nggak peduli.
Si pelatih teriak, “Itu yang masih kuat, bantu teman-temannya!”
Barangkali untuk pertama kali seumur hidup, aku masuk kelompok “masih kuat” dalam adu fisik macam gini. Well, Nietzsche mulai benar.
Shalat Maghrib di bawah hujan lebat (enak, nggak usah capek2 cari tempat wudlu kayak temen2 lain). Dingin membekukan. Tangan mulai susah dikontrol. Iga rasanya mulai sakit. Doa-doa dibisikkan (doa standar aku, bukan doa khusus).
Dan aku punya keyakinan bahwa aku bisa menyelesaikan hal ini.
Atau apa pun.