“Udah berapa tahun kerja di Telkom?” gitu dia tanya, di atas kereta yang berdetak tanpa ampun.
“Berapa ya. Hampir 10 kayaknya.” — Dan tahu-tahu ada yang masuk dan menyerang pikiranku.
Yup, 10 tahun yang lalu. Januari 1994. Aku baru lulus. Magang beberapa minggu di Pusdiklat. Dan abis flu dua minggu, tahu-tahu aku dapat panggilan untuk mulai proses inisiasi karyawan baru: Bintal. Pusdikhub. Cimahi.
Sekian tahun sebelumnya, aku lahir di Cimahi. Dan tahun itu, aku dipaksa lahir lagi di Cimahi. Jadi manusia yang punya tanggung jawab keseharian (beda sama zaman mahasiswa di mana kita punya tanggung jawab untuk bangsa, negara, dan kemanusiaan tapi tidak punya tanggung jawab untuk diri sendiri dan lingkungan kecil kita). Apa berarti aku masuk Pusdikhub dengan suka cita? Sorry yach, aku bukan setelan STPDN yang kayaknya harus baris ke praktek psikiatri itu ;). Nggak. Aku masuk masih lengkap dengan rasa permusuhan dengan bentuk-bentuk kemiliteran, dan memandang semuanya sebagai akal-akalan dari Telkom, militer, dan orang-orang yang tidak cakap mengatur negara.
Tapi itu tahun 1994. Beberapa tahun sebelumnya aku udah dikenalin dengan Maslow. Dan karena nggak percaya sama ocehan dosen tentang lima level kebutuhan, aku waktu itu doyan baca buku2 psikologi humanistik. Maslow, Allport, Frankl. Dan waktu aku masuk Pusdikhub, aku masih punya Frankl yang belum selesai terbaca.
Barangkali itu yang bikin semangatku nggak ilang. Di pintu masuk, aku rasanya kayak mewakili Viktor Frankl yang masuk kamp bersejarah itu. Dan aku mulai dengan ucapan Frankl: “Di kamp, tempat di mana tekanan hidup sangat tinggi, nilai-nilai kemanusiaan pada tawanan akan jatuh, nyaris semuanya. Kecuali pada beberapa orang saja, di mana nilai-nilai itu justru meningkat tajam.”
Juga Nietzsche, tentu, dengan values transvaluation.
Dan aku pikir, aku cukup berhasil di sana, akhirnya.