Abis tertunda lagi, akhirnya berhasil ditamatin juga buku Milan Kundera
ini, The Unbearable Lighness of Being in Bahasa Indonesia.
Menarik. Kalau nggak, aku nggak bakal repot-repot baca sampai tamat.
Alur waktunya maju mundur seenak penulis. Dan untuk efek yang lebih dramatis,
aku bacanya juga maju mundur seenaknya.

Ceritanya apaan sih?

Ceritanya nggak penting, sebenernya. Soalnya kayaknya Kundera lebih suka
mentransferkan nuansa-nuansa ide, baik nuansa dengan huruf biasa, huruf
miring, maupun huruf tebal. Huruf tebal? Yup, maksudnya bukan sekedar
nuansa, tapi bener-bener paradoks ide-ide dari sebuah fakta yang sama.

Misalnya apa ya … Ugh … Misalnya waktu tokoh Sabina sedang bersama
para mahasiswa Perancis berpawai menentang invasi Russia ke Ceko. Tangan
dikepalkan, slogan dikumandangkan mengutuk imperialisme Soviet. Tapi
Sabina sungguh terkejut, mendapati bahwa ia justru sedang berada di dalam
apa yang selama ini dimusuhinya dari para imperialis, baik fasisme maupun
komunisme, yaitu kejahatan yang merembes yang tergambarkan dalam bentuk
pawai dan barisan dengan kepalan tangan dan slogan-slogan.

Mengingatkanku sama sebuah pertanyaan sekitar tahun lalu: Kok pasukan
GAM juga bikin upacara bendera?