Faust. Di versi awal, yang aku tulis berulang-ulang dari tahun 1997, Faust melambangkan orang yang tidak menemui jalan lain selain stagnansi, kejumudan. Dan buat Faust, stagnansi adalah dosa manusia terbesar. Maka ia mengambil satu-satunya jalan yang mungkin diambilnya untuk keluar dari stagnansi, yaitu berkelana dengan Mephistopeles. Potensi dosa yang niscaya akan terjadi kalau seseorang berjalan dengan sang setan, buat Faust, adalah resiko yang mungkin terjadi, dan tetap lebih baik daripada dosa akibat menerima stagnansi.

Tapi yang kemudian berhenti aku tulis adalah saat manusia lepas dari stagnansi. Segalanya berkembang sesuai fitrah kemanusiaannya. Atau setidaknya begitulah tampaknya. Pada saat itu, sadarkah Faust bahwa ia masih berjalan bersama Mephisto?

Di awal langkah kita, memang barangkali tidak ada faktor Mephisto. Atau kita kira demikian, soalnya Mephisto tidak menemui kita seperti dia menemui Faust. Dia barangkali muncul bukan sebagai persona, tetapi sebagai idea. Tapi seharusnya, kita tetap menghindari kesalahan yang sama dengan Faust, yang asyik dengan dengan kemanusiaannya yang indah dan mulai lupa menilai kembali titik awal yang dia ambil.