Supratman 66 tampak kehilangan semangat kerja yang dinamik kayak
yang aku kenal sebelum Ariawest mengacaukan semuanya. Sekarang
yang tertinggal cuma koleksi cubicle mimpi buruk Dilbert. Konon
aku harus menampakkan diri di sini, di calon kantor baruku. Tapi
nyaris nggak ada mata yang bisa dijadikan sasaran menampakkan diri.
Konfigurasi-konfigurasi network mengikuti kerutinan. Plus sisa-
sisa logo Ariawest yang kayak salah tempat, sekedar tampil
menyisakan rasa tidak enak.
Nggak beda jauh dengan bulan kemaren waktu aku ke lantai yang lebih
atas, mencoba ke sarang Catbert, dengan keramahan yang tidak
memberikan harapan.
Aku rasa aku memang perlu belajar lagi, bagaimana berubah jadi
orang yang namanya nyaris selalu diingat orang, jadi orang yang
bukan apa-apa, selain cuma bisikan yang mengganggu tidur-tidur
lelap di kursi-kursi malas.
Dan di ujung cerita, si tokoh badung memutuskan bahwa di dunia ini
tidak ada penghalang apa pun. Semuanya adalah peluang, kesempatan,
dan terutama tantangan, untuk dihadapi, dipecahkan, dan diarifi
satu demi satu demi satu demi satu demi satu.
(Bisa nggak sih?)