Sampai lima ratus ribu tahun setelah big bang, semesta berbentuk sup kental yang terdiri dari partikel subatom. Ekspansi setelah tahap ini menurunkan energi yang memungkinkan partikel-partikel itu berpadu membentuk atom-atom, yang berekspansi 15 miliar tahun sampai hari ini. Radiasi dari akhir zaman sup ini masih teramati gemanya hingga kini sebagai radiasi latar belakang dengan energi 2,7 kelvin, dari seluruh penjuru langit. Radiasi dari zaman sebelum sup ini sudah menghilang, karena foton-foton dihamburkan dan diserap partikel subatom.
Namun kini para ilmuwan sedang berusaha mengamati radiasi latar belakang langsung dari detik-detik big bang. Yang diamati bukan lagi foton, melainkan graviton. Gravitasi, sudah terbentuk sejak awal inflasi, dan tidak diserap oleh apa pun. Namun sekali lagi, mengamati graviton tidak mudah. Kalau radiasi latar foton itu panjangnya 1 hingga 5 milimeter, radiasi latar graviton ini panjangnya dari 1 cm hingga 1023 km ? sama dengan ukuran semesta yang kita ketahui. Beberapa detektor graviton antara lain memakai laser untuk untuk mengukur pergeseran renik antara dua benda bermassa yang terpisahkan beberapa kilometer. Ini pun tidak optimal.
Tapi di tahun 2000, ide baru dikembangkan. Selama zaman sup, graviton yang gelombangnya panjang itu tentu secara periodik memampat-renggangkan sup raksasa kita. Dan karena sup itu akhirnya menghasilkan radiasi foton, tentu ada riak-riak pada radiasi foton yang bisa diamati, sebagai semacam efek Doppler yang diakibatkan graviton.
Masalah lain adalah bahwa sup itu tidak homogen massanya. Jadi ada variasi gravitasi lain yang juga mempengaruhi riak pada radiasi foton. Maka jenis riak ini harus dipisahkan. Alat bantunya, antara lain, adalah analisis Fourier. Tapi karena aku punya kenangan buruk dengan analisis Fourier, tulisan ini enaknya berakhir di sini.