Sejauh kita tak suka pelabelan, dan tentu pengkategorian, sejauh itu juga kita tak suka segala yang selalu senada dan seragam, kan? Sip deh :). Kalimat macam ini aku tulis waktu kata blog belum ada di kepalaku, dan semua catatan masih diketik dengan ballpen di buku kecil (tentu semuanya private, jadi isinya lebih … hwahaha … shinting — kira-kira 32% dari Anda pasti punya kebiasaan yang sama). Trus aku memberikan contoh: pagi tadi aku lebih suka fisika daripada biologi (oh ya, aku masih di sekolah waktu nulis ini), dan ini tidak harus berlaku siang ini, waktu biologi terasa mendadak jauh lebih menarik daripada fisika. Jadi tidak mungkin aku dikategorikan sebagai penggemar fisika, misalnya. Atau kopi. Atau saat ini: blog.
Eh, tapi aku bukan mau nulis soal itu. Itu soal masa lalu :). Aku mau cerita soal Starbucks. Dan Starbucks berasosiasi dengan kehangatan persahabatan. Beribu maaf buat rekan2 di Starbucks: kalau soal kopi sih, banyak yang lebih enak :); tapi soal persahabatan memang Starbucks top. Masalahnya, tentu, kita kadang tidak memerlukan sahabat. Kita kadang hanya ingin menikmati kesendirian. Starbucks memang akan membiarkan kita menyendiri tanpa mengganggu, kalau kita tampak tak ingin diganggu. Tapi kadang itu belum cukup. Kadang kita betul2 tidak ingin dikenali. Ingin dianggap bukan sebuah personal. Hanya orang, atau bahkan hanya sesuatu yang lewat: tidak untuk dilihat, dipikirkan, diingat. Dan untuk kemewahan semacam ini, aku perlu sesuatu yang lain di luar Starbucks (kecuali kabur ke Starbucks di luar Bandung, haha).
Sebuah resto ikan sedap di Sukajadi: Pak Chi Met, dulu beberapa kali aku datangi, bareng Jeffrey (sekutuku yang ini, kayaknya jarang aku tulis di blog — kalau memang pernah). Recommended: santapan nyaman dan suasana sedap. Dan pada one fine night, Aa’ Pramusaji menyapaku: “Ini Bapak Kuncoro?” lalu mengulang dengan nama lengkapku. Bangga, ia menyebut bahwa mereka memang ditugasi mengenal para customer. Itu hampir dua tahun yang lalu. Sejak itu, aku nggak pernah balik lagi ke sana. Sebuah ruang besar, ruang publik, bukan ruang kecil bernada kamar seorang sohib. Di tempat semacam itu, dikenali sungguh jadi tak nyaman. Nggak gue banget.
Tukang menghafal lain aku temui di Landmark, Bandung. Tahun 1990an, aku pernah disuruh Mama beli water heater. Ini buat dipasang di rumah Mama. Aku cuman perlu milih, ninggalin alamat, bayar uang muka, selesai. Beberapa menit. Nah di pameran berikutnya (beberapa bulan kemudian), ada yang nawarin aku water heater lagi. Aku bilang sudah punya. Tapi dia menyanggah: “Dulu kan buat rumah Mamanya, Mas. Sekarang beli lagi, buat rumah Mas.” Aku terpaksa memelototi wajah si Mas itu untuk meyakinkan bahwa ini bener orang yang dulu menjualiku water heater. Tapi memoriku tak sebagus punya dia: aku nggak ingat sama sekali.
Barangkali memang aku terlalu aneh. Maksudku, barangkali memang wajar kalau orang ingin saling mengenal. Tak peduli bahwa satu bagian dari jiwaku terlalu menderita kalau terbuka ke orang lain (haha, pengakuan — itulah sebabnya blogging jadi sarana belajar berkomunikasi). Wajar, barangkali. Dan aku yang tak wajar, kalau sampai harus cari café lain untuk bersantai membaca buku tanpa ingin dikenali. Dan pindah lagi, waktu ada sebuah comment di blog ini, berisi statement seorang anonim lain, bahwa dia sering melihat aku di café pelarian itu :(.
Penutup: satu yang lucu dan nggak menyebalkan, biarpun mengkhawatirkan. Sempat balik ke Malang, aku pinjam motor teman buat bernostalgia keliling Malang. Termasuk nostalgia mengalami ban kempes di sekitar Klojen. Nuntun sebentar, di dekat Setiabudi aku ketemu tukang tambal ban, agak tua. Melihat ban kempes, dia langsung mengambil alih, dan bekerja. Sambil memegangi ban, ramah dia menyapa: “Sampèyan nang ‘ndi saiki, Mas?” Aku senyum aja. Tapi dia meneruskan, “Ndisik lak SMP Telu sé, Mas?” Hah, trus aku tanya dengan Bahasa Malang-ku yang sudah luntur: kok bisa ingat. I mean, itu belasan abad yang lalu. Trus dia jawab: “Lha mbiyèn lak ‘ben dina lèwat rél kaé.” Tapi itu lak mbiyèn, aku protes. Dan dia ketawa: “Lha sampèyan pancet koyo ngono.” Haha, kali ini aku nggak keberatan nggak anonim. Cuman khawatir. Sekacau itukah aku, jadi gampang diingat orang?
whoalaa… apakah sampeyan sudah merasa segitu uniknya dan selalu berubah setiap saat layaknya bunglon?
biar gimana juga, ada satu ciri West yang ga pernah bisa berubah, dan (sayangnya) cepat bisa dikenali oleh orang lain :P
ga ada salahnya juga kan kalau “dikenal” orang lain?
@Nita: Hah, ikutan manggil “sampeyan” — dasar archnemesis satu lagi. Tapi yang perlu aku perjelas adalah bahwa apakah itu kategori, apakah itu label, apakah itu pilihan, apakah itu takdir; semuanya aku anggap mengacu ke formula, bukan ke sebuah konstanta. Tak beruntunglah kita kalau formulanya sederhana :p. Hidup itu menarik.
“Lha mbiyèn lak ‘ben dina lèwat rél kaé.??? Tapi itu lak mbiyèn, aku protes. Dan dia ketawa: “Lha sampèyan pancet koyo ngono.??? Haha, kali ini aku nggak keberatan nggak anonim.
—
teganyaa pake “haha”….aku ngga ngerti :( terjemahin dong…..
Aartinya:
– “Lha dulu kan setiap hari lewat rel itu.” (‘itu’ jauh, bahasa jepangnya are bukan sore). Tapi ini membuatku berpikir bahwa aku mungkin memang mudah dikenali, soalnya aku cenderung jalan di atas salah satu rel (bukan di antara rel). Juga cenderung jalan di tepi trotoar (yang posisinya lebih tinggi daripada jalan aspal dan badan trotoar).
# “Tapi itu kan dulu,” aku protes.
– “Kamu tetap seperti itu.”
kalo ngeliat dari foto2 di blog ini, wajah sampeyan memang gak ada perubahan kok, pak.
masih sama kayak wajah kala sma dan kuliah dulu
:-)
tapi asli tukang tambal ban tsb bener2 menakjubkan! sdh berselang puluhan tahun tapi masih bisa inget wajah orang yg tdk dia kenal scr pribadi.
wah….mas koen alumni smp 3 malang juga ya…
sama dong mas….tapi mungkin kita beda tahun ya.
aku lulus thn 93 kalo ngga salah inget.
salam kenal,mas.