Dalam cerita ini sang profesor bermain roulette bersama asistennya, Cindy. Atau nama lain, terserahlah, aku juga nggak ingat. Cindy memegang pistol kuno berisi setengah penuh, bertugas menembakkan peluru panas tepat ke kepala Profesor. Profesor berwajah tenang dan penuh percaya diri, sementara Cindy berwajah tegang dan sedikit pucat.
“Dor,” suara bising mengiringi letupan pistol tanpa peredam suara itu.
Dengan tegang Cindy menatap Profesor yang masih tersenyum. “Teruskan,” perintah Profesor. Lebih tegang, Cindy memutar kantong peluru, lalu melakukan tembakan kedua. Profesor masih tersenyum. Dan dengan ketegangan memuncak, Cindy melakukan tembakan ketiga. Teror yang amat sangat menyelimuti ruangan, ketika peluru menghancurkan kepala Profesor.
Adegan selanjutnya tidak perlu diulas, karena website ini terbuka untuk segala umur. Cindy jatuh terduduk, nyaris pingsan. Bagaimana pun, ia hanya menjalankan perintah.
Tapi itu versi Cindy.
Sekarang kita dengarkan versi Profesor.
“Teruskan,” perintah Profesor setelah peluru pertama. Cindy menembak. Masih kosong. Tidak tega Profesor melihat ketegangan yang memuncak di wajah Cindy. Ia memberikan isyarat mata untuk tembakan ketiga. Masih kosong juga. “Ayo cepat kita selesaikan,” kata Profesor. Cindy membidikkan pistol. Tembakan berikutnya masih kosong. Juga berikutnya. Juga berikutnya. Sampai tembakan ke seratus, Profesor memberi tanda berhenti. Lalu dengan riang ia berteriak, “Eksperimen berhasil!”
Dalam proposisi ini, pengamat yang berbeda bisa mengamati hasil eksperimen secara berbeda. Pada tembakan pertama, probabilitas bahwa peluru akan tertembakkan adalah 50%. Kans profesor untuk hidup tinggal 50%. Dua tembakan memberi kans 25%. Tiga tembakan, 13%. Bagi Cindy, Profesor sudah cukup beruntung bahwa ia mati setelah tembakan ketiga (probabilitas hidup tinggal 13%). Tapi bagi Profesor, kalau ia mati, ia tidak bisa memberikan hasil pengamatan. Jadi bagi versi Profesor hidup, sampai tembakan ke-100 pun ia tidak bisa mati.
Dan kalau kenyataan bagi para pengamat itu berbeda, apa itu artinya semesta paralel jadi valid? Atau tanpa jadi paralel pun, multi-realitas bisa terjadi? Versi terakhir ini lebih menarik.
Apa bedanya?
Kita kembali ke eksperimen celah ganda (yang banyak ditulis di web ini tahun 2000-2001). Saat elektron tunggal ditembakkan di depan celah ganda, ia berinteraksi dan membentuk pola interferensi. Tapi interaksi dengan siapa? Barangkali waktu elektron ditembakkan, masing2 celah menerima satu elektron dalam realitas yang terpisah. Realitas terpisah, tapi masih bertetangga, dan bisa menyatu lagi.
Konsep multi-realitas juga bisa jadi jawaban yang cepat (dan dangkal) untuk menjawab pertanyaan khas zaman Interpretasi Kopenhagen: siapa sang pengamat? Bagaimana kalau ada banyak pengamat? Realitas menjadi lebih tergantung lagi pada pengamat. Di salah satu frame realitas yang lain, bukan manusia yang jadi pemenang dalam evolusi makhluk hidup. Dalam frame yang lain lagi, bumi tidak pernah terbentuk.
Esse es percippi, kata Berkeley. Mudah2an aku nggak salah eja lagi. Mungkin memang nggak masuk akal dan menyebalkan. Tapi, kayak yang pernah aku tulis, aku punya pertanyaan dari waktu aku berumur sekitar 5 tahun, dan belum terjawab juga. Dan barangkali cerita yang satu ini bisa mulai membuka jawaban.