Das Rheingold

Wagner membuka opera ini dengan sekian menit nada nyaris datar. Menutupi apa pun itu yan tengah bergolak di balik tirai.

Lalu tirai terangkat menampilkan sungai bening mengalir perlahan, lalu para peri bermain di atasnya, lalu Alberich si kurcaci pengacau datang dengan mata serakah, lalu ia rampas emas Rhein yang dijaga para peri itu.

Sementara di atas sana, Wotan dan Fricka menatap istana para dewa yang sementara itu hampir selesai dibangun para raksasa. Sementara mereka cemas karena taruhan atas selesainya istana itu adalah pertukaran dengan Freia, saudari Fricka, sementara itu para raksasa justru datang menuntut hadiah. Tapi lalu datanglah Loge, si dewa api, membawa kabar dicurinya emas Rhein. Tapi Loge membuka kisah bahwa harta itu membuat pemiliknya mampu menguasai alam sekitarnya. Tapi ia juga mengisahkan bahwa Alberich menjadikan emas itu cincin lalu menggunakan kuasanya untuk memperbudak sesamanya untuk menumpuk harta. Tapi para raksasa justru meminta harta yang banyak itu sebagai penukar Freia. Tapi para raksasa membawa Freia yang membawa keabadian para dewa sebagai sandera. Maka Wotan harus turun bersama Loge untuk mengambil harta kurcaci. Maka Wotan turun menemui Mime saudara Alberich. Maka Mime menceritakan bahwa para kurcaci tertindas oleh kekuasaan Alberich. Maka Loge menggunakan kecerdikannya untuk merampas cincin Alberich. Maka Alberich melepaskan kutukannya: maka siapa yang tak memiliki cincin itu akan menginginkannya, maka siapa yang memiliki cincin itu akan mati karenanya. Cincin jatuh ke tangan Wotan, tapi para raksasa memintanya, tapi Wotan menolaknya, tapi Loge mengingatkan akan kutukan Alberich, tapi Wotan akhirnya menyerahkannya, tapi para raksasa baku bunuh berebut cincin itu, tapi tersisa hanya raksasa Fafner. Kemudian ia pergi membawa semua harta dan cincin. Kemudian Wotan mengambil istana itu dan dinamainya Valhalla. Kemudian semua dewa beriring masuk ke istana itu. Kemudian Loge menolak karena kekelaman yang melingkupi terciptanya istana itu. Kemudian adalah keinginan dewa untuk mengambil kembali cincin itu karena ketidakpercayaan pada si raksasa. Kemudian cerita harus beralih.

Tapi sementara itu, sayup kita masih mendengarkan nada-nada megah, saat para dewa yang tak maha kuasa itu memasuki istananya, yang tampak megah di atas rapuh landasannya. Lalu, seperti mereka, kita juga sadar: terciptanya istana itu justru merupakan redupnya dunia para dewa.

Lalu, seperti kata Wagner, seperti yang dipaparkan dalam biografinya tentang saat2 musik ini memasuki sukmanya, seperti ini: “… the stream of life was not to flow to me from without, but from within.” Dan seperti Iqbal bilang: ayo bangkit dari dirimu, jangan merasa jadi Musa yang menunggui wahyu. Para dewa sedang sakit, sedang perih, sedang salah. Sedang kita? Sedang2 saja :). Yuk!

One Reply to “Das Rheingold”

  1. Pfuiii…capek bacanya…:) Jadi, peri-peri sungai Rhein itu anggota WWF ya? Pantesan….

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.