You can be anything you want to be
Just turn yourself into anything you think that you could ever be
Be free with your tempo be free be free
Surrender your ego be free be free to yourself
Innuendo, Queen
You can be anything you want to be
Just turn yourself into anything you think that you could ever be
Be free with your tempo be free be free
Surrender your ego be free be free to yourself
Innuendo, Queen
20/02/2002, 9916991. Trus kenapa ?
Di atas teras rumah, tergeletak IEEE Personal Communications.
Desember 2001. Eh. Aku kan mulai subscribe tahun 2002, bukan 2001.
Tapi jadi menggelitik. Soalnya ini edisi terakhir sebelum majalah
ini mengubah namanya jadi Wireless Communications. Temanya sekilas
nggak terlalu istimewa, European R&D. Tapi *gah* kan memang justru
di Eropa, bukan di AS (jantung IEEE), tempat sistem-sistem mobile
yang beroperasi itu dirisetkan.
Balik-balik jurnal itu, memang jadi kayak megang harta karun, yang
entah dengan kesalahan apa, bisa dilempar ke teras rumah.
Baca-baca lagi. Ummmm … alih profesi enak juga kali ya …
Eh, malah ngelantur ke alih profesi. Aku emang lagi kayak layang-layang
lepas kali.
Di tengah jalan Supratman, musik imajiner dari Wagner kembali
terdengar. Siegfried. Bukan lambang dari kemenangan yang datang
disertai pengorbanan yang luar biasa dari tokoh Siegfried yang
tak putus dirundung malang (haha) itu. Tapi lebih jadi lambang
kekhusukan Wagner memulai karya yang luar biasa itu waktu di depannya
tidak tampak ada harapan sama sekali. Yang jadi pemicu kemanusiaan
sejati justru bukan sesuatu yang tampak, yang terproyeksikan,
tetapi sesuatu yang lebih ada dari itu.
Supratman 66 tampak kehilangan semangat kerja yang dinamik kayak
yang aku kenal sebelum Ariawest mengacaukan semuanya. Sekarang
yang tertinggal cuma koleksi cubicle mimpi buruk Dilbert. Konon
aku harus menampakkan diri di sini, di calon kantor baruku. Tapi
nyaris nggak ada mata yang bisa dijadikan sasaran menampakkan diri.
Konfigurasi-konfigurasi network mengikuti kerutinan. Plus sisa-
sisa logo Ariawest yang kayak salah tempat, sekedar tampil
menyisakan rasa tidak enak.
Nggak beda jauh dengan bulan kemaren waktu aku ke lantai yang lebih
atas, mencoba ke sarang Catbert, dengan keramahan yang tidak
memberikan harapan.
Aku rasa aku memang perlu belajar lagi, bagaimana berubah jadi
orang yang namanya nyaris selalu diingat orang, jadi orang yang
bukan apa-apa, selain cuma bisikan yang mengganggu tidur-tidur
lelap di kursi-kursi malas.
Dan di ujung cerita, si tokoh badung memutuskan bahwa di dunia ini
tidak ada penghalang apa pun. Semuanya adalah peluang, kesempatan,
dan terutama tantangan, untuk dihadapi, dipecahkan, dan diarifi
satu demi satu demi satu demi satu demi satu.
(Bisa nggak sih?)

Ada beberapa alternatif untuk mencoba menggunakan C#. Cara yang diharapkan Micro$oft tentulah dengan membuang setidaknya US$ 700 untuk membeli CD yang direkami dengan M$ Visual Studio .Net; tapi tentu sebelumnya Window$ juga harus diupgrade setidaknya jadi 2000 atau sekalian XP.
Buat yang tidak mau membuang $700 sia-sia, Micro$oft “berbaik hati” menyilakan untuk download M$ .Net Framework SDK sebesar 131 MB (only) di site MSDN. Jadi cukup buang uang untuk upgrade Window$ saja.
Alternatif lain lagi, adalah berharap pada prakarsa-prakarsa pesaing .Net yang juga menyediakan lingkungan pengembangan buat C#. Dua diantaranya adalah Mono dari Ximian; dan Portable.NET dari DotGNU. May the source be with you.
Satu lagi, dari sumber yang sama.
Waktu Sussman masih jadi programmer pemula, Minsku menemuinya sedang memprogram di PDP-6. “Sedang apa?” tanya Minsky.
“Melatih neural net yang tersambung acak untuk bermain Tic-Tac-Toe,” jawab Sussman.
“Kenapa acak?” tanya Minsky.
“Agar program itu tidak menyimpan konsep dasar cara bermain,” kata Sussman yakin.
Minsky memejamkan mata.
“Kenapa menutup mata?” tanya Sussman pada gurunya itu.
Minsky menjawab, “Agar ruangan ini menjadi kosong.”
Maka Sussman mendapatkan “pencerahan”.
Cerita klise para hacker dari http://tuxedo.org/jargon/
Seorang mahasiswa mencoba mengatasi komputer yang crash dengan mematikan dan menghidupkan komputer dengan tombol power terus menerus. Tom Knight, melihat yang dilakukan pemuda itu, menghentikannya.
“Kamu tidak bisa membetulkan komputer hanya dengan mematikan dan menghidupkannya, tanpa mengerti mengapa komputer itu crash.”
Kemudian Knight mematikan komputer itu, dan menghidupkannya lagi.
Komputer bekerja dengan normal.
Kali ini, aku mau melantur soal satpam. Dan bukan satpam di Lembong atau di Westwood.
Aku pertama kali kerja (kerja bergaji) jadi instruktur komputer di LPK
Kopma Unibraw, waktu masih kuliah di semester 4 atau 5. Yang dicari
bukan sekedar gaji (iya juga sih, buat beli buku komputer #@*!#*!@^), tapi
kesempatan pakai komputer (harga komputer mahal euy, sampai sekarang), dan kesempatan berkomunikasi lisan (yang kayaknya bisa agak mengubah personality-ku — tapi ini soal lain).
Jadi disanalah komputer-komputerku. Dan aku nyaris siang malam ada
di sana. Jadi mulai akrab sama satpam-satpam. Ada yang sok suka traktir
(tapi doyan pinjam motor). Ada yang suka tanya-tanya soal komputer.
Si satpam yang suka tanya soal komputer itu belajarnya serius bener.
Dia nggak terlalu sering di depan komputer. Tapi di gardunya pun dia
bawa buku dBase dan baca dengan serius. Beberapa tahun kemudian aku
lihat dia kerja jadi tutor komputer di tempat lain. Kagum juga aku.
Satpam lainnya ada yang selalu bawa buku pelajaran Bahasa Inggris
dan suka tanya-tanya juga. Kali-kali udah jadi guru Bahasa Inggris
dia sekarang.
Kemana aja, Pak K. Kangen nih kita. Tadinya aku sempat mikir, kok cuman satpam aja yang kedengeran kangen aku di kantor ini. Sekali-sekali kek para boss yang kangen, jadi buru-buruan bikin SK buat aku, biar nggak wandering around tanpa salary kayak zombie.

Tapi detik berikutnya aku baru sadar bahwa di ujung mana pun di dunia ini, yang terus bisa akrab sama aku memang kaum security. Satpam sipil maksudnya. Para pengawal di Seskoad nggak termasuk — mereka baik tapi ogah senyum.
© 2025 Kuncoro++
Theme by Anders Noren — Up ↑