ASEAN ICT Awards 2015

ASEAN ICT Awards (URL: http://aseanictaward.com) – atau disingkat AICTA – adalah prakarsa dari TELMIN, yaitu kelompok kerja Menteri-Menteri Telekomunikasi dan IT di lingkungan ASEAN. Tujuannya adalah mempromosikan kolaborasi antara pemerintah, industri, dan komunitas untuk pengembangan inovasi IT di kawasan Asia Tenggara. Salah satu bentuknya adalah dengan kompetisi inovasi dan kreasi IT.

Tahun ini Telkom Group mengirimkan proposal belasan produk ke AICTA, baik dari inovasi internal maupun dari kolaborasi komunitas. Namun yang lolos ke babak final hanya QJournal, di kategori Digital Content.

Finalis harus mempresentasikan inovasinya di Ninh Binh, 15-17 September 2015. Ninh Binh adalah kota kecil di daerah Vietnam Utara, sekitar 100 km dari Hanoi. Di sana, tengah dilaksanakan juga Workshop TELMIN. Jadi, sekalian para expert di bidang ICT jadi juri babak final AICTA. QJournal memberangkatkan Bang Anto, Aip, dan aku sendiri.

Kami berangkat terbang dari Jakarta ke Hanoi, dan menghabiskan setengah hari untuk mengeksplorasi ibukota Vietnam ini. Hanoi masih bersuasana tenang dan agak tradisional. Sekilas melihat beberapa situs budaya di Hanoi, kami langsung diantar dengan bus ke Ninh Binh.

Ninh Binh benar-benar kota kecil. Kota ini diharapkan jadi sentra wisata baru di Vietnam, dengan kontur alam yang sungguh indah. Bukit-bukitnya mirip Halong Bay atau kawasan Cina Selatan. Sayangnya, Ninh Binh sedang masuk musim hujan bulan September itu. Jadi tak banyak yang bisa dilihat dan dikunjungi.

IMG_8244

Final AICTA berlangsung mirip ujian kuliah, haha. Tidak ada semacam acara pembukaan. Finalis langsung diarahkan ke ruang-ruang presentasi. Presentasi dan tanya jawab dilakukan dengan para juri dari seluruh negara ASEAN di ruang tertutup. Dilarang bikin foto, kecuali bandel. Selesai presentasi, langsung acara bebas. Malam, ada gala dinner, welcome speech, dan tari-tarian. Mirip acara IEEE, haha. Para nerds yang gagap entertainment. Gue bangets.

Pemenang AICTA baru diumumkan resmi 2 bulan kemudian. QJournal memperoleh Silver Awards. Alhamdulill?h.

Karena Bang Anto sedang sangat sibuk, aku dan Aip mewakili Telkom di awarding night. Awarding dilaksanakan bersamaan dengan TELMIN Summit di Danang, Vietnam Tengah, pada 26 November 2015. Penyerahan award dilakukan secara bergantian oleh para Menteri ICT negara-negara ASEAN. Untuk kategori Digital Content, kebetulan award diserahkan oleh Menkominfo Indonesia, Chief Rudiantara.

HLZS0026

Selesai acara, kami menyempatkan diri berbincang dengan Chief Rudiantara, tentang pengembangan inovasi digital di Indonesia, dengan pendekatan komunitas.

AZTB5388

Selesai. Social visit dulu ke Hoi An, sebuah kawasan yang terjaga keaslian ekonomi dan budayanya, masih di kawasan Vietnam Tengah. Trus kami terbang kembali ke Jakarta via Ho Chi Minh City. Kunjungan yang sangat singkat.

IMG_1719

AICTA Silver Award ini diserahkan kepada Telkom Indonesia sebagai pemilik inovasi dan produk. Telkom sendiri kemudian memberikan award para inovatornya dengan Penghargaan Inovasi Khusus yang diserahkan CEO Alex Sinaga dan Direktur HCM Herdy Harman di acara puncak HUT Telkom.

IMG_0278

 

OK, cerita selesai.

Indigo Apprentice Awards

Sejak akhir dekade lalu, tim kami memprakarsai beberapa aktivitas Telkom untuk pengembangan karya kreasi digital nasional, di bawah platform program Indigo. Salah satu program awal saat itu adalah Indigo Fellowship. Program ini berevolusi, terus dilengkapi dengan komitmen-komitmen pengembangan produk dan bisnis startup digital, dan kini dinamai Indigo Incubator (URL: s.id/4sm). Fokusnya pada pemilihan produk kreatif, untuk dijajagi potensi pengembangan produk dan pasarnya, dan kemudian untuk dikembangkan bersama secara intensif di ruang kerja bersama, termasuk Bandung Digital Valley dan Jogja Digital Valley.

C2C Concept

Sejak akhir 2014, Telkom lebih memperkuat lagi komitmennya dengan mengubah struktur Divisi Konvergensi Solusi (DSC) menjadi Divisi Bisnis Digital (DDB). Salah satu tugasnya adalah menjadi akselerator bagi bisnis-bisnis digital nasional, agar memiliki kekuatan untuk persaingan global. Misi jangka panjangnya tentu adalah menumbuhkan ekonomi berbasiskan kreativitas dan budaya digital, serta mengurangi ketergantungan pada produk digital impor.

Sebagai akselerator, DDB menyusun kerangka kerja yang disebut Indigo Accelerator. (URL: IndigoAccelerator.com) Berbeda dengan Indigo Incubator, akselerator ini menerima produk dan bisnis digital dari para startup yang sudah memiliki traction, dalam bentuk revenue, customer base, atau user engagement lain, yang memiliki potensi untuk bertumbuh, walaupun mungkin saat ini nilainya belum significant. Dalam akselerator ini, digunakan fasilitas bersama untuk memperkuat pengembangan produk dan bisnis; termasuk penggunaan common service enabler, marketing channel, dan sinergi pengembangan lain. Indigo Accelerator bersarang di Jakarta Digital Valley (@Jakdiva) di Menara Multimedia, Jakarta.

Startup Accelerator Facitilites

Pintu masuk ke akselerator ini dapat berupa keluaran dari Indigo Incubator, dari bisnis digital yang diajukan proposalnya ke Indigo Accelerator, atau dari bisnis yang dipilih tim Riset dari ekosistem digital di Indonesia. Namun agar proses ini lebih cepat dan terbuka, DDB mulai menyelenggarakan Indigo Apprentice Awards (URL: s.id/4bE). Ini adalah kompetisi yang terbuka bagi para startup Indonesia, untuk diakui sebagai bisnis yang memiliki potensi pengembangan terbaik, dan untuk memperoleh fasilitas pengembangan bisnis dari Indigo Accelerator.

Indigo Apprentice Awards

Juri untuk Indigo Apprentice Awards, selain dari Telkom, diambil juga dari komunitas-komunitas yang merupakan stakeholder pengembangan startup nasional, semisal Startup Lokal dan Founder Institute.

Founder Institute Jakarta

Pendaftaran dan informasi lain tentang Indigo Apprentice Awards bisa diperoleh dari site berikut: http://s.id/4bE atau via account Twitter @ddbAccelerator.

Buku Favorit 2014

Menjelang tutup tahun, kita coba review beberapa buku yang kita baca tahun ini. Mungkin tahun ini memang terlalu banyak diisi kegiatan ekstra padat yang bahkan membuat tahun-tahun sibuk sebelumnya tampak penuh keleluasaan; dan buku-buku yang dibaca pun jadi berkait dengan kegiatan-kegiatan yang menarik ini.

Book-The-InnovatorsThe Innovators, adalah kisah tentang para genius yang menciptakan dunia informasi seperti yang kita kenal saat ini. Walter Isaacson (yang sebelumnya menulis tentang Steve Jobs dan Albert Einstein) bercerita tentang inovasi bukan hanya sebagai proses yang terkontrol; melainkan sesuatu yang dibentuk dengan latar belakang kepribadian, tekad, gagasan yang luar biasa, kerjasama yang menarik dari pribadi yang sungguh beraneka atau bertolak belakang, dan lompatan-lompatan kreatif. Ada Lovelace misalnya, digambarkan bukan sebagai putri yang dibesar-besarkan sebagai programmer, melainkan dirinci sejak ibunya menjauhkan dia dari urusan seni dan membuatnya menyukai pikiran kreatif yang logis, pergaulannya dengan para hacker masa itu, dan seterusnya. Lalu kita dibawa ke nama-nama revolusioner seperti Vannevar Bush, Alan Turing, John von Neumann, Doug Engelbart, Robert Noyce, Bill Gates, Steve Wozniak, Steve Jobs, Tim Berners-Lee, hingga Larry Page. Intinya bukan nama-nama besar ini, melainkan penggalian yang seksama untuk memungkinkan kita menjadi inovator-inovator kelas dunia berikutnya.

Book-Smart-CitiesSmart Cities. Buku ini memang dibeli setelah mendalami banyak paper IEEE tentang pengembangan smart cities. Pertama, kenapa kita malah berfokus ke kota? Secara pragmatis, menata kota adalah menata peradaban. Bumi justru mungkin bisa lebih hijau saat manusia dikumpulkan dalam ruang dengan efisiensi sumberdaya yang tinggi, dengan kolaborasi yang sangat mudah dan massive, dan optimisasi pada gagasan-gagasan hijau. Tapi ini hanya mungkin terjadi saat kota ditata dengan daya informatika yang menyeluruh. Persoalannya bukan hanya soal akses internet di layer infrastruktur, platform, aplikasi, konten; tetapi bagaimana budaya dan gaya hidup mulai diarahkan. Apa yang mungkin bisa terjadi? Bagaimana ekses negatifnya? Bagaimana menjawab tantangan itu? Dan apakah pembentukan smart cities akhirnya benar-benar akan mengubah peradaban dunia demi masa depan bumi yang lebih baik? Konon, orang yang bernama Smith cenderung suka jadi ahli metal; orang bernama Dentist suka mengurusi gigi. Itu diakui Wiseman yang ternyata memang suka mencari kebijakan dalam hidup manusia secara ilmiah. Tapi apa itu sebabnya buku Smart Cities ini harus ditulis Anthony Townsend?

Book-Quantum-NetworkingQuantum Networking. Dari minggu-minggu awal kelahirannya, blog ini cukup sering membahas efek kuantum di sisi sains. Namun satu dekade kemudian, efek kuantum benar-benar mulai dapat diaplikasikan dalam dunia engineering, termasuk di sistem informasi. Quantum computing, quantum information, quantum networking. Di kuliah IEEE, aku sering menyebut tiga layer masa depan skala menengah: quantum networking, Internet of Things (termasuk big data), dan smart cities. Quantum networking memungkinkan terobosan informasi kapasitas tinggi dan kecepatan tinggi untuk masa depan. Segala pardigma informasi, sejak kalkulasi Shannon, persoalan enkripsi, sensitivitas, berubah sepenuhnya; dilengkapi hal-hal semacam teleportasi dan sistem distribusi yang saat ini belum terpikirkan aplikasinya. Buku mengenai quantum networking yang baik sangat sulit diperoleh. Aku beruntung sempat berkenalan dengan Prof Rod van Meter, seorang periset mutakhir di bidang ini di COMNETSAT, salah satu konferensi yang disponsori IEEE Indonesia Section. Beliau jenis ilmuwan yang rendah hati namun sangat inspirasional, serta mampu memaparkan quantum networking kepada para engineer secara jernih tanpa berbelit.

Book-QuietQuiet. Ada sih manusia yang memang cerewet, suka mendengarkan opera bising yang membunyikan hampir semua alat musik sekaligus, suka menggabungkan kegiatan berbagai komunitas, suka mempresentasikan gagasan yang belum mainstream ke kelompok orang serius tak dikenal. Dll. Tapi di tempatnya bekerja, ia dinyatakan cacat, tidak lulus ke dalam kelompok orang-orang penting akibat mendapatkan sertifikat “introvert akut” oleh para assessor (dua point di bawah standar yang diperkenankan perusahaan). Wkwkw, ada. Buku Susan Cain ini menyelamatkan orang-orang semacam itu dalam memilih: apa sih hal baik yang masih dapat dilakukan kaum introvert ini. Konon para introvertlah yang membentuk dunia: mengenalkan kita pada teori relativitas; bunga matahari Van Gogh — hmmm, ya, Van Gogh; komputer Apple, apalah. Tapi dunia yang nyata digerakkan oleh para ekstrovert yang secara alami menyusun kerjasama yang dinamis di dunia yang makin kompleks ini. Kaum introvert harus menyesuaikan diri. Bisa berhasil, namun dengan kelelahan psikologis yang lebih. Lalu bagaimana kaum introvert bisa memaksimalkan potensi dirinya? Aku yakin para introvert lebih suka membaca buku ini dalam heningnya, daripada membaca point-point di blog dalam keriuhan kota.

Book-La-FeteMilan Kundera bikin buku lagi. La Fête de l’Insignifiance. Belum terbit bahasa Inggris atau bahasa Indonesianya. Dan aku belum berhasil menamatkan buku ini juga. Tapi, coba kita seriusi hal ini: seriuskah dunia ini? Terpikirkah bahwa justru masalah paling serius harus dikaji secara tidak serius? Nikmati rayapan gelombang interaksinya, dan dengan demikian pahami hakikat pembentuknya. Rayakan hal-hal yang tidak penting! Mungkin ini bukan hal baru buat para pecinta Kundera. Buku sebelumnya, Kitab Lupa dan Gelak Tawa (Le Livre du Rire et de l’Oubli) memaparkan diskusi para penulis dunia bukan dengan cara yang elegan, namun justru dengan kekacauan yang menjemukan, dan dengan demikian menjelaskan dunia apa adanya. Buku Unbearable Lightness of Being (L’Insoutenable Légèreté de l’Être) memaksa kita merasakan bahwa hidup jadi beban justru karena ia ringan melayang; plus rangkaian pendefinisian kontekstual atas makna-makna dan simbol-simbol yang membuat kita mempertanyakan hal-hal yang kita anggap besar dan penting. Tapi ringan bukan berarti lucu. Lucukah saat kita menyadari bahwa rasa humor kita bersama sebenarnya tak menarik lagi? Apa coba?

Masih ada beberapa buku lagi. Bersambung ah. Jalan-jalan dulu membersihkan diri. Kamu sendiri, suka baca apa akhir-akhir ini?

Méridien de Paris

Biasanya aku mengaitkan sebuah kota dengan sebuah buku, sepotong musik, atau seorang tokoh. Tapi kota Paris punya sejarah panjang dan cerita yang kompleks. Beberapa kunjungan sebelumnya aku kaitkan dengan para filsuf, para ilmuwan, para penulis. Kali ini, aku mengambil tema seorang tokoh bernama François Arago.

Arago adalah seorang matematikawan, fisikawan, astronom, dan politisi Perancis. Di sekitar masa revolusi Perancis, ia bahkan sempat beberapa bulan menjadi semacam Perdana Menteri Perancis. Dalam bidang fisika, ia menjadi kontroversi saat mendukung teori cahaya sebagai gelombang. Permainannya yang lain adalah mencari kaitan benda bermuatan yang berputar terhadap logam magnetik. Tapi, di atas semua itu, ia paling dikenal sebagai Direktur Observatorium Paris.

Observatorium Paris didirikan di sekitar kawasan Montparnasse pada masa Raja Louis XIV di tahun 1667. Salah satu misi yang diemban observatorium itu adalah memperbaiki ketepatan perangkat dan peta untuk keperluan navigasi. Salah satu yang dilakukan adalah memastikan ketepatan posisi garis bujur (Utara – Selatan). Titik ukur, di tengah Observatoium Paris itu, kemudian menjadi garis meridian Paris, dan menjadi bakuan negara Perancis atas bujur nol derajat.

Saat Arago menjadi sekretaris di Observatorium itu, tugasnya adalah menentukan ketepatan garis meridian lebih jauh lagi. Ia menjelajah ke Catalonia, yaitu kota Barcelona (yang dilewati garis bujur ini), hingga ke Formentera (bagian dari Kepulauan Balearik). Sisi penting garis meridian ini adalah pada saat Perancis mengubah satuan-satuan fisika menjadi satuan metrik, yang menggantikan satuan imperial. Satuan panjang, yaitu satu meter, didefinisikan sebagai satu per sepuluh juta jarak dari kutub utara ke khatulistiwa, melalui meridian kota Paris. Secara spesifik, pengukuran dilakukan dari kota Dunkerque ke Barcelona.

Dunia internasional kemudian lebih memilih Prime Meridian (yaitu garis meridian yang melewati Greenwich di UK) pada 1884, menggantikan meridian Paris. Namun Perancis masih menggunakan meridian Paris hingga 1911. Meridian Paris terletak 2º 20’ 14” dari Prime Meridian. Posisi ini masih teramati dengan dipasangnya tanda berupa seratusan lempeng perunggu di jalan, trotoar, dan taman di sepanjang garis meridian ini. Piringan perunggu ini dinamai medali-medali Arago.

Penjelajahan garis meridian Paris bisa dimulai dari Observatorium Paris. Sedikit di sebelah kompleks observatorium, terdapat monumen Arago, dengan medali Arago berada sebagai bagian dari prasasti monumen itu.

Arago-v02

Memasuki kawasan observatorium, sebuah garis membelah taman, menunjukkan garis meridian.


Sayangnya, aku datang pada hari yang kurang tepat. Observatorium (dan berbgai musium menarik lain di Paris) sedang ditutup di masa liburan musim panas. Padahal di dalamnya tersimpan jam atom sebagai pengukur waktu detik standar, serta standar metriks lainnya.

Di depan observatorium, sebuah boulevard dipisahkan taman rumput yang menandakan garis meridian. Kemudian jalan melebar. Beberapa patung dan monumen memisahkan jalan, dan semua berfungsi sebagai penanda garis meridian juga.

Menyusuri garis ini, kita akan masuk ke Jardin de Luxembourg (taman Luxembourg) yang terkenal asri dan indah. Beberapa monumen masih dipasang di garis meridian ini. Kemudian sebuah lapangan rumput luas yang tidak boleh diinjak.

Di ujung lapangan, kita dapat menemui kolam yang segar dengan kursi-kursi santai untuk para pengunjung. Hey, kita harus menikmati keindahan kota ini dulu sebelum meneruskan penjelajahan =).

Trus beranjak ke utara. garis meridian ini melintasi puncak gedung senat, melewati Rue Garancière dan Boulevard Saint Germain, menyeberangi sungai Seine, dan masuk ke Museum Louvre. Di sini, piramid kaca besar di tengah halaman Louvre dipasang telat di garis meridian ini.

Melintasi piramid kaca, kita masih akan menemukan medali Arago lagi, terus mengarah ke utara, hingga ke dekat Gedung Opera.

Trus … mungkin aku cerita dulu tentang opera. Lain hari kita sambung tentang Arago dan garis meridian Paris ini yah.

Dessine-moi un Mouton

Gambarkan aku seekor domba! – pinta si pangeran kecil. Itulah awal jumpa Antoine de Saint-Exupéry sebagai pilot sebuah pesawat yang terdampar dengan si pangeran kecil di tengah Gurun Sahara, yang didokumentasikannya dalam buku Le Petit Prince.

Tak banyak dari kita yang mencoba menyelami, mengapakah gerangan permintaan pertama si pangeran kecil itu justru menggambar domba. Dessine moi un mouton!

Orang-orang yang mudah puas merasa telah menemukan penjelasan, karena pada bab awal, penulis menjelaskan bahwa saat ia kecil ia mencoba menggambar ular boa, tapi tak dipahami orang dewasa. Bahwa kemudian si pangeran kecil bisa memahami gambar sang pilot tanpa memerlukan banyak penjelasan, menjadi penjelasan bagi banyak pembaca bahwa si pangeran kecil memiliki pemahaman melintasi kekuatan persepsi orang dewasa yang pikirannya sudah banyak tertutupi angka-angka dan hal-hal remeh lainnya.

Padahal, jangan lupa, si pangeran kecil mengingatkan rahasia sang rubah kepada pembaca: Lihatlah dengan hati. Hal-hal yang penting justru tak tampak oleh mata.
Padahal, jangan lupa, sang pilot mengingatkan pembaca dari generasi sesudahnya sejak dari halaman pembuka: Mohon maaf, buku ini ditulis untuk orang yang sudah dewasa – sahabatku yang sedang kelaparan dan kedinginan di Perancis yang sedang dilanda perang.
Padahal, jangan lupa, si pangeran kecil menjelaskan, untuk apa ia memerlukan domba itu.

Baobab! Ia memerlukan si domba untuk makan tunas-tunas kecil. Tunas-tunas kecil, yang tampak lemah, bisa berkembang menjadi tanaman yang baik, atau tanaman yang merusak. Orang sering kali abai melihat tunas-tunas, yang sebenarnya mereka tahu bisa berbahaya. Mereka abai, sampai suatu hari sekumpulan baobab sudah menjadi terlalu besar, dan merusak planet-planet kecil, tanpa dapat diperbaiki lagi. Si pangeran kecil bahkan meminta sang pilot untuk secara khusus mengingatkan anak-anak tentang pentingnya ketelitian menyiangi tunas, dan mencegah tumbuhnya baobab. Ia bahkan merasa perlu membawa domba ke planetnya untuk mencegah baobab tumbuh.

Sebagai pilot, Antoine de Saint-Exupéry turut menjadi patriot yang bertempur dengan pesawat kecilnya, mempertahankan tanah air Perancis melawan fasisme Eropa masa itu. Adolf Hitler, Benito Mussolini, Francisco Franco, dan para diktator fasis lain tidak pernah betul-betul menyembunyikan tujuan dan strategi mereka. Hitler bahkan menuliskan cita-citanya yang kelam bagi kemanusiaan dalam buku Mein Kampf, sepuluh tahun sebelum Perang Dunia II. Pun terang-terangan ia mengangkat kemurnian ras. Pun terang-terangan ia mengancam lawan-lawan politiknya dari seluruh Eropa. Pun terang-terangan ia mengambil alih Austria dan Ceska. Tapi politisi Eropa dan dunia mengabaikannya. Lalu ia menduduki Polandia dengan mudah, dan tak ada lagi yang mampu menahannya, hingga Perancis jatuh.

Gambarkan aku seekor domba! – pinta si pangeran kecil. Gambarkan aku sesuatu yang mampu menahan tunas-tunas kekejian, kerusakan, kejahatan untuk tumbuh dan berkuasa. Dessine moi! Design me a system to avoid, to withstand, to overcome.

Tapi, tolong jaga, agar domba itu tak menganggu si bunga mawar merah. Domba itu tidak boleh mengganggu keindahan kreasi semesta. Domba itu sama sekali tidak boleh menjadi ancaman bagi kehidupan.

Akan sang bunga sendiri. Sadarkah ia bahwa si pangeran kecil mencoba menjaganya? Ia membalasnya dengan keangkuhan yang polos, dengan kebanggaan murni yang merepotkan.

Seperti akhirnya Exupéry harus meninggalkan negerinya yang jatuh ke tangan Nazi Jerman, si pangeran kecil juga memanfaatkan migrasi para burung untuk meninggalkan planetnya. Mencari jalan untuk melindungi semesta kecilnya. Namun yang ditemuinya hanya pemimpin negara dengan ilusi kekuasaan yang terkekang (lucunya, tetap sambil sepakat dengan Foucault bahwa kekuasaan itu tersebar dalam bentuk pengetahuan), para selebriti yang sibuk bermegah mengagumi diri sendiri, korporasi dunia yang memaksa mengejar angka yang jauh dari kenyataan real, para abdi negara yang sekedar menjalankan tugas hingga kelelahan tanpa menyadari apa tujuan tugasnya, serta orang-orang yang bahkan tak paham apa pun yang tengah terjadi di luar siklus hidupnya yang memusingkan.

Metafora dalam Le Petit Prince bukan berisi satu dua gagasan, ajakan, dan cerita saja. Di dalamnya tercakup juga biografi Exupéry sendiri, kecanggungannya sebagai seorang pelarian di dunia yang tak memahami ada hal genting di dunia lain, kenangannya pada adiknya yang meninggal, dan keinginannya untuk kembali ke medan perang melawan kaum fasis. Selesai menulis buku ini, Exupéry memberikan manuskrip kepada penerbit, lengkap dengan gambar-gambar indah yang dibuatnya dengan cat air sebagai ilustrasi cerita. Lalu ia kembali ke Eropa.

Tapi mengapa harus kembali? Menumbuhkan kebaikan bagi semesta bisa di mana saja. Si pangeran kecil terus teringat negerinya, bunganya. Bunga itu — être-en-soi —jauh lebih penting daripada ratusan lainnya, karena keterikatan yang dibentuk oleh komitmen darinya. Maka Exupéry kembali. Di sana ia minta diterima kembali sebagai pilot tempur melawan kaum fasis. Di akhir Juli, ia terbang dalam misi pengintaian untuk perebutan kawasan Perancis selatan.

Ia tak pernah kembali.

Ia hanya meninggalkan buku janggal, bukan tentang filsafat atau tentang esai atau tentang cerita yang menggugah, tetapi tentang seorang pangeran kecil yang janggal, masuk ke dunia yang janggal, berkomunikasi dengan cara yang janggal, dan mengirimkan pesan yang tak mudah dimengerti dunia. Bagaimana mungkin dunia mengerti? Di kepala mereka hanya ada delusi kekuasaan, kekaguman pada diri sendiri, target dan pencapaian bisnis, hidup yang berputar memabukkan, dan tugas-tugas yang harus diselesaikan. Les yeux sont aveugles. Il faut chercher avec le cœur. Bagi mereka, ia tak pernah kembali.

Tapi bagiku ia telah kembali.

Si Pangeran Kecil (Bab 17)

Ketika kita berusaha menjelaskan sesuatu secara sederhana, penjelasan kita malah akan bergeser jauh dari kenyataan yang sesungguhnya.

Tak tepat benar aku menggambarkan bumi sebagai panggung para penjaga lampu. Bagi yang belum mengenal bumi, mungkin penjelasanku justru menyesatkan.

Manusia hanya menempati tempat yang kecil di muka bumi. Jika dua miliar penduduk bumi berdiri berdempetan, seperti yang terjadi di pusat keramaian, maka semua manusia dapat ditempatkan dalam ruangan kotak berukuran dua puluh mil kali dua puluh mil. Seluruh umat manusia dapat ditempatkan pada sebuah pulau kecil di Samudera Pasifik.

Orang-orang dewasa takkan mempercayai kenyataan itu. Mereka yakin manusia perlu menempati ruangan yang sangat luas. Mereka menganggap dirinya mirip pohon baobab. Kita bisa saja minta mereka melakukan perhitungan sendiri. Mereka suka angka-angka, dan pasti mereka senang. Tapi jangan mau membuang waktu untuk pekerjaan tambahan ini. Sama sekali tidak perlu. Kamu cukup percaya padaku.

Demikianlah, maka ketika si pangeran kecil tiba di bumi, ia tertegun karena tak menjumpai seorangpun. Ia khawatir tiba di planet yang salah. Namun sebuah gulungan keemasan, dengan warna mirip sinar bulan, melintasi pasir.

“Selamat sore,” kata si pangeran kecil ramah.

“Selamat sore,” jawab si ular.

“Planet apa yang baru aku datangi ini?” tanya si pangeran kecil.

“Ini planet bumi. Ini benua Afrika,” jawab si ular.

“Jadi tidak ada manusia di bumi?”

“Ini gurun pasir. Tidak ada orang yang tinggal di gurun. Bumi ini besar sekali,” kata si ular.

Si pangeran kecil duduk di sebuah batu, menatap angkasa.

“Aku ingin tahu,” katanya, “Apakah semua bintang bercahaya di langit agar kita suatu hari dapat menemukan bintang kita sendiri. Lihat planetku. Tepat di atas kita. Tapi sejauh apa ia sekarang?”

“Cantik sekali,” kata si ular. “Apa yang membawamu kemari?”

“Aku mendapatkan masalah dengan bunga,” kata si pangeran kecil.

“Ah,” kata si ular. Mereka berdua terdiam.

“Di mana para manusia?” si pangeran kecil membuka percakapan lagi. “Sunyi sekali di gurun ini.”

“Lebih sunyi rasanya berada di kerumunan manusia,” jawab si ular. Si pangeran kecil menatapnya lama sekali.

“Kamu hewan yang lucu sekali,” katanya akhirnya, “Kamu tak lebih tebal dari jari.”

“Tapi aku lebih kuat daripada jari seorang raja,” kata si ular.

Si pangeran kecil tersenyum. “Tidak mungkin kamu kuat. Kamu bahkan tak punya kaki. Kamu tak bisa berjalan.”

“Aku bisa membawamu lebih jauh daripada semua jenis kapal,” kata si ular. Ia membelit betis si pangeran kecil, seperti sebuah gelang kaki. “Siapa pun kusentuh, aku mengirimkannya kembali bumi, dari mana saja ia berasal,” lanjut si ular, “Tapi kamu anak yang suci dan jujur. Dan kamu datang dari bintang.”

Si pangeran kecil tak menjawab.

“Kamu tampak rapuh di bumi yang penuh cadas ini,” kata si ular, “Aku dapat menolongmu, kapan saja, kalau kau rindu kembali ke asalmu. Aku dapat …”

“Aku paham semua perkataanmu,” kata si pangeran kecil, “Mengapa suka berteka-teki?”

“Aku bisa menyelesaikan semuanya,” kata si ular.

Keduanya kembali terdiam.

[Antoine de Saint-Exupéry, Le Petit Prince, #17]

Comnetsat & Cyberneticscom 2013

Tampaknya banyak IEEE conference yang dijadwalkan menjelang akhir tahun 2013. Terlalu banyak, dengan waktu yang saling mendesak. Syukur, executive committee dan para officers di IEEE Indonesia Section punya komitmen tinggi untuk dapat menjaga kegiatan-kegiatan ini. Secara pribadi, aku tidak bisa mengawal semua. Termasuk flag conference IEEE Indonesia Section ini: Comnetsat dan Cyberneticscom.

Comnetsat dan Cyberneticscom tahun ini diselenggarakan di Sheraton Hotel, Yogyakarta, 3-4 Desember. Sebenarnya aku sudah menjadwalkan untuk hadir penuh di konferensi paralel ini, yang sudah dijadwalkan bahkan sejak Januari. Tiket pun sudah terbeli. Tapi HR Telkom membuat undangan mendadak untuk assessment yang sifatnya wajib pada Hari H. Maka aku baru bisa hadir setelah Hari-1 selesai. Pembukaan dilakukan oleh General Chair, Dr Ford Lumban Gaol; dan sambutan IEEE Indonesia Section dilakukan oleh Pak Arnold Djiwatampu, Advisory Board. Keynote Speech yang temanya paling menarik buatku adalah Quantum Communications, yang disampaikan oleh Prof. Rodney van Meter. Tapi sayangnya aku malah gak hadir :(.

Aku baru melandas di Yogya Selasa malam, dan langsung menuju Gala Dinner di Kraton Yogyakarta. Hadir sekitar 80 orang dalam acara ini. Aku meluangkan sekitar 3 menit untuk Welcome Speech dari IEEE Indonesia Section, sekaligus appreciation buat Telkom Indonesia yang menyumbangkan dinner ini. Dinner dipilih dari favorit para Sultan Yogya terdahulu. Menunya unik, sampai aku gak tahu namanya :D.

Comnetsat-01

Aku mengambil posisi meja bersama Prof Van Meter dan Dr Agung Trisetyarso. Mas Agung ini adalah apprentice dari Van Meter, dan pagi sebelumnya jadi session chair dalam sesi keynote speech Van Meter. Talk dengan mereka bahkan lebih menarik lagi daripada dinner-nya sendiri. FYI, riset Van Meter tahun ini dipaparkan di IEEE Communications Magazine dan juga di Communications of the ACM (CACM).

Van-Meter

Balik ke Sheraton, aku terkapar di kursi malas dekat kolam. Kena akumulasi kelelahan beberapa hari / minggu, aku malah pulas di samping kolam. Bangun, balik ke kamar. Dan baru sadar bahwa mungkin ini pertama kali aku boleh tidur pulas di malam konferensi internasional yang kami selenggarakan. Biasanya sok sibuk persiapan presentasi ini itu.

Hari berikutnya masih banyak keynote speech menarik. Prof Benyamin Wah, past chair dari IEEE Computer Society, dan provost  dari Chineses University Hongkong, mengkaji Parallel Decomposition, yang berawal dari perlunya optimisasi dari berbagai aplikasi komputasi natural, termasuk komputasi neural dan evolusioner. Prof Wolfgang Martin Boerner, dari IEEE GRSS Asia Pacific, memaparkan Future Perspectives of Microwave Imaging with Application to Multi-Parameter Fully Polarimetric POLSAR Remote Sensing and Geophysical Stress-Change Monitoring. Dari Telkom Indonesia, Pak Rizkan Chandra diwakili oleh Pak Era Kamali Nasution, mengkaji kasus deployment network dengan konvergensi vertikal dengan pendekatan ekosistem.

Comnetsat-02

Sesi paralel sesudahnya cukup menarik. Peserta bukan saja datang dari kawasan Asia Pasifik seperti yang dibayangkan, tetapi dari negeri-negeri yang cukup tersebar. BTW, Conference Chair untuk Comnetsat adalah Dr Arifin Nugroho, dengan TPC Chair Prof Eko Tjipto rahardjo. Conference Chair untuk Cyberneticscom adalah Dr Wahidin Wahab, dengan TPC Chair Prof Riri Fitri Sari.

Kerjasama Konferensi IEEE

Dari beberapa misi Comnetsat dan Cyberneticscom tahun lalu, yang aku anggap terpenting adalah kemampuannya menyebarluaskan semangat dan komitmen mengangkat konferensi teknis ilmiah dari kampus-kampus dan lembaga penelitian di Indonesia menjadi konferensi internasional dengan standar kualitas IEEE. Di tahun-tahun sebelumnya, baru kampus semacam UI, ITB, dan ITTelkom (sekarang Telkom University) yang secara rutin menyelenggarakan konferensi internasional IEEE. Tahun ini, LIPI, UGM, UMN, telah mencoba menyelenggarakan konferensi serupa.

UGM: ICITEE

Tahun-tahun sebelumnya, UGM telah melaksanakan CITEE. Tahun ini, dipimpin Dr Wayan Mustika, diselenggarakan konferensi paralel CITEE yang bercakupan nasional dan ICITEE yang berjangkau internasional. ICITEE (International Conference on Information Technology and Electrical Engineering) [URL] dikoordinasikan dengan IEEE Indonesia Section dilaksanakan sejak awal tahun, baik secara online maupun via perbincangan di Yogyakarta.

ICITEE digelar di Sahid Rich Yogya Hotel, 7-8 Oktober. Pembukaan oleh Dr Wayan Mustika sebagai general chair. Aku mewakili IEEE memberikan congratulatory speech 7 menit saja. Keynote speeches disampaikan oleh Prof Tadashi Matsumoto (JAIST), Dr Susumu Yoshoda (Kyoto Univ), dan Dr Khiorul Anwar (JAIST).

ICITEE-550

LIPI: IC3INA

IC3INA (The International Conference on Computer, Control, Informatics and its Applications) [URL], mulai direncanakan awal 2013. Koordinasi dengan IEEE Indonesia Section dilaksanakan secara online; tetapi kami sempat melakukan dua kali kunjungan ke Gedung LIPI di Cisitu Lama, Bandung.

Konferensi digelar pada 19-20 November di Gedung LIPI, Gatsu Jakarta. Sesi pembukaan disusun dengan gaya meja-meja bundar di bawah panggung. Keynote speech disampaikan a.l. oleh Prof Md Mahmud Hasan dari Kazakh-British Technical University di Almaty dan Prof Antonio Uras dari ALICE CERN. Prof Uras bukan membahas hasil riset di LHC dan ALICE sendiri, tetapi bagaimana mereka di sana mengolah data dengan skala petabyte untuk mengambil hasil riset secara efektif. Aku didapuk jadi session chair untuk semua sesi keynote, karena semua komite sedang merangkap jadi seksi sibuk.

IC3INA-550

Selesai sesi, sempat ada bincang ringan dengan wartawan Tempo. Sambil berbincang ringan, aku menyebut bahwa kita telah beberapa tahun berusaha membangun inovasi digital. Hasilnya jauh dari menggembirakan. Dari sisi bisnis, tampak bahwa produk digital cuma jadi boom, tidak jadi revenue. Dari sisi social, melejitnya pemakai media social di Indonesia justru dibarengi mandegnya indeks pembangunan manusia (HDI) dan seluruh parameternya. Aku pikir ini a.l. karena inovasi kita lebih sering berasal dari contekan inovasi atau riset dari luar, dan bukan bukan dari riset yang dikembangkan dari Indonesia sendiri, buat kebutuhan Indonesia. Jadi kegiatan IEEE dan ekosistem pendidikan tinggi lebih difokuskan buat mendukung riset-riset nasional, termasuk dengan konferensi yang terkawal kualitasnya, dan peningkatan jurnal nasional. Tapi konon di Tempo dll, tidak ada yang bertugas mengawal kualitas berita :). Maka di Tempo yang ditampilkan adalah bahwa seolah-olah aku menuding riset-riset nasional adalah hasil contekan. Tentu, ini jauh dari pendapatku. Terima kasih, Tempo, untuk menunjukkan bahwa tugas kita memang lebih besar lagi. Bukan hanya di pendidikan nasional, tapi juga media nasional.

Sayangnya aku tidak bisa hadir di sesi paralel. Ada tugas mendadak dari Telkom DES.

UMN: CONMEDIA

Tahun lalu, Universitas Multimedia Nusantara (UMN) menyelenggarakan CONMEDIA (Conference of New Media Studies) [URL] dalam bentuk seminar yang hanya berisikan international speech. Baru tahun ini CONMEDIA menampilkan dan menguji paper-paper. Karena ini adalah pengalaman baru, UMN belum berfokus untuk mempublikasikan hasil konferensi melalu IEEE (Xplore). Namun, aku mencoba tetap menyusun skema kerja seperti halnya konferensi internasional IEEE lainnya; sekaligus sebagai sarana belajar bersama.

CONMEDIA diselenggarakan pada 27-28 November di New Media Tower UMN. Pembukaan oleh Rektor UMN Dr. Ninok Leksono; dilanjutkan dengan sesi keynote speech dari Prof. Tahee Kim (Youngsan University, Korea), Kuncoro Wastuwibowo (IEEE Indonesia Section), Prof. Richardus Eko Indrajit (APTIKOM) dan Prof. John Cokley (Swinburne University, Australia). Paparanku berjudul Converged Digital Ecosystem, dan membahas aspek teknis, desain, aplikasi dari pengembangan layanan-layanan digital. Dikenalkan juga standar baru seri IEEE 1903 yang disebut dengan NGSON. Berikutnya adalah sesi paralel.

Conmedia-550

Ketua penyelenggara, Dr Hira Meidia, sudah berkomitmen untuk meningkatkan CONMEDIA di tahun berikutnya, agar dapat memberanikan diri terpublikasi di IEEE Xplore.

Oh ya, aku juga dapat tanda mata unik menarik dari UMN & CONMEDIA. Mereka edit fotoku (waktu ketemu Dr Alain Chesnais di TALE tahun ini) dalam gaya Weda Style, dan mencetak dalam display yang keren. Here you are:

Conmedia-400

 

Konferensi 2014

Di tahun 2014, telah masuk beberapa proposal kerjasama penyelenggaraan konferensi. ITS, PENS, serta satu kampus di Malang telah mengajukan beberapa proposal juga. Kawasan timur semakin cerah. Tapi tentu target kita bukan jumlah konferensi. Kita tetap berfokus pada peningkatan dinamika dan kualitas riset ilmiah di Indonesia. Dalam konteks IEEE, tentu fokus pada STEM: science, technology, engineering, & math. Dan dalam kerangka IEEE, sifatnya tetap non komersial, not-for-profit. Di web IEEE Indonesia Section, bagian ini telah didetailkan.

Pidato Kebudayaan Karlina

Karlina Leksono Supelli, astronom Indonesia yang kecendekiaannya tentu juga menjangkau seluas kosmologi dan banyak hal yang jadi daya tarik akal budi manusia di dalamnya. Tahun ini, Pidato Kebudayaan yang diselenggarakan rutin oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM) mempersembahkan cendekiawan ini, bertemakan Kebudayaan dan Kegagapan Kita. Aku bersyukur mendapatkan kehormatan memperoleh undangan istimewa untuk mengikuti pidato kebudayaan ini, dan berjumpa beberapa aktivis online Jakarta sebelum acara.

Sayangnya kami justru tidak diperkenankan mengambil gambar dari dalam ruangan, jadi tak dapat mengabadikan momen cemerlang dari Karlina. Karlina mengkontraskan kondisi kita semua saat ini, yang meremehkan hal-hal yang esensial dan penting dalam hidup kita — kelestarian alam, rasionalitas hidup, keanekaragaman pola pikir — seraya mengagungkan hal-hal yang fana dan remeh — keriuhan media sosial, konsumerisme, dll. Sangat menyentak, bahwa hal-hal yang selama ini kita anggap sudah menjadi bagian dari paradigma hidup kita, ternyata masih secara massive, kolektif, dan terus-menerus kita abaikan demi keabaian yang kita sering kita sebagai progress.

Karlina Leksono (Sumber: Tirto)

Kita, ungkap Karlina, tidak dapat mengubah keadaan dengan marah, melainkan harus secara tegas melakukan perubahan sikap.

NEST UI

Ini kegiatan tahunan dari Mahasiswa Elektro UI: NEST. Kepanjangannya canggung nian: National Electrical Seminar & Technology :). Beberapa minggu lalu, ketua penyelenggara kegiatan ini, Sdr Hegar Mada, dan sekretaris kegiatan, Sdr Isyana Paramitha, bergantian menghubungi IEEE Indonesia Section untuk endorsement kegiatan ini. Tentu, kegiatan akademis dan profesional semacam ini kita dukung. Komunikasi sempat terhenti sepanjang Ramadhan :). Tapi selesai APCC, Hegar berkontak lagi. Dua hari sebelum Hari-H, Hegar datang ke kantor Kebon Sirih. Ia menyampaikan undangan sebagai Keynote Speaker. Penandatangannya Dr Muhamad Asvial, salah satu pendukung kuat kegiatan-kegiatan IEEE di Indonesia. Jadi aku tidak bisa menolak. (Hey, ini H-2)

NEST berlangsung 12-13 September 2013 di Gedung Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia, Depok. Tema NEST adalah “A step foward to the green information and communication technology sustainability.” Keynote speech berlangsung di hari pertama, disusul seminar, workshop, dan pameran.

 (Coffee break bersama Prof. Riri, Prof Mulli, dan Pak Charles)

NEST dibuka Dr Muhamad Asvial, Kepala Departemen Teknik Elektro, Fakultas Teknik UI. Keynote speech pertama dari Prof. Dr-Ing. Kalamullah Ramli, atau akrab dipanggil Pak Mulli, Staf Ahli Menkominfo bidang Teknologi. Pertama kali aku mengenal nama beliau waktu masih di pengajian Isnet beberapa tahun lalu. Syukur sempat ketemu beliau akhirnya :). Keynote kedua dari aku, mewakili IEEE Indonesia Section. Prof Riri Fitri Sari (CIO UI) sempat hadir juga di tengah speech-ku.

Presentasiku berjudul “Green-Aware Networks” :). Sebelumnya aku sempat mengintip daftar program. Workshop dan seminar akan membahas hal-hal semacam smart grid, cloud computing, dan beberapa materi menarik lain. Jadi aku fokuskan presentasi pada hal yang belum dibahas pada workshop dan seminar, yaitu pada cognitive radio yang memiliki awareness pada reservasi energi dan kelestarian alam. Materi cognitive radio ini memang pernah aku presentasikan, namun penekanan pada konteks kehijauan memberikan pesan baru pada diskusi ini.

(Presentasi “Green-Aware Networks”)

Selesai presentasi, ada sesi break dengan kopi dan lemper yang sedap. Aku meluangkan beberapa menit ke lokasi pameran. Wow, robotika! Kebetulan aku sedang mendadak agak sedikit tertarik urusan robotika, sensor, dll. jadi aku menyibukkan diri berbincang-bincang dengan peserta pameran, dari UGM, Unitel, dan lain-lain. Plus dipameri hal-hal menarik.

Kembali ke ruang seminar, Pak Charles sedang memaparkan aspek openness dan security pada ICT projects. Ini hal yang penting untuk green ICT. Reusable engineering (hardware/software) memiliki peran penting buat ICT yang ramah lingkungan.

Jam 12:00 aku pamit balik ke kantor Kebon Sirih. Mitha mengawalku ke luar gedung perpustakaan. Sebenernya sih, mau bikin foto dulu di danau. Tapi aku ditunggu kegiatan lain di kantor sih. Syukur masih sempat foto di pintu perpustakaan.

 (Dikawal Mitha)

NEST UI dikemas sederhana, namun menunjukkan komitmen yang kuat, dari sisi akademis dan profesional, dari para engineer muda di UI dan kampus-kampus lain yang bertekad meningkatkan kekuatan negeri ini melalui teknologi tinggi, tanpa mengabaikan lingkungan, dan justru dengan tekad memperbaiki kembali lingkungan hidup yang hijau. Bravo, Universitas Indonesia. Teruskan dan tingkatkan aktivitas yang keren dan menginspirasi semacam ini.