Beethoven Night

Aku ternyata belum kenal Jakarta. Aku bahkan belum tahu di kota ini ada Aula Simfonia Jakarta. Ini bukan hanya sebuah hall / aula, tetapi benar2 sebuah gedung, bertempat di Kemayoran, tak jauh dari Merdeka Selatan, tempatku berkantor.

Sore tadi Jakarta bercuaca cukup seram. Awan hitam melintas kencang dari arah timur ke barat. Di lapisan bawahnya, awan kelabu melintas lebih kencang dari barat ke timur. Angin dingin menembus jaket. Tapi Aula Simfonia Jakarta akan menyelenggarakan Beethoven Night. Dan nama Beethoven cukup untuk mendorong kami melintasi ancaman badai itu, dan menuju ke Kemayoran: mencari sebuah aula.

Kami belum beli tiket. Begitu sampai, ticket box pun dihampiri. Tiket termurah 200K, hanya menyisakan tempat tak strategis. Ambil tiket 300K. Tapi ticket box hanya menerima cash atau debit dari sebuah bank tak menarik. Maka dompet langsung kosong untuk membayar tiket. Hall ini masih baru: belum ada café, toko, tempat snack, atau bahkan ATM. Ah, who cares. Kami naik ke atas, dan menyempatkan diri mengamati sederetan lukisan yang seluruhnya bertema musik. Musik klasik. Musik klasik eropa. Gong dibunyikan, dan kami masuk hall.

Sesuai namanya, malam tadi Orkestra Simfonia Jakarta hanya memainkan karya Beethoven. Sebagai pembuka, Kevin Suherman memainkan dua sonata piano. Kevin masih muda, dan ia bersekolah musik hingga ke Melbourne. Yang dimainkan adalah Piano Sonata op 2. Aku jarang mendengarkan sonata piano Beethoven. Jadi ini terasa jadi pemainan baru yang asik buat aku. Menyenangkan. Sayangnya terasa tak berlangsung lama. Piano dimasukkan ke bawah panggung. Lalu Orkestra Simfonia Jakarta memasuki panggung.

Konduktor untuk bagian ini adalah Rebecca Tong. Ia masih muda juga. Menempuh pendidikan di US di bidang sejarah musik, khususnya mengenai conducting, ia konon terkenal piawai memimpin musik secara dinamis. Deretan empat karya orkestral Beethoven mengalir, dengan tempo yang bergerak dari lembut ke dinamis: Coriolanus (Serumpun Padi, haha), Fidelio, Prometheus, dan Egmont. Egmont ini pernah juga aku dengarkan di Warwick entah di tahun berapa, bersama Simfoni Ketiga. Tapi Kemayoran tak mengecewakan. Dinamikanya sunguh menyegarkan.

Rehat 15 menit. Sayangnya belum ada fasilitas rehat di sini. Panitia menjual Aqua, tapi tak banyak yang berminat. Aku menghabiskan waktu melihat2 benda2 musikal yang ditata dalam ruang kaca mirip diorama. Menarik juga tempat ini sebagai museum. Sempat mengambil sedikit foto (dilarang mengambil foto selama pertunjukan berlangsung). Lalu gong bergaung lagi.

Pada bagian ini, konduktor diambil alih Dr Stephen Tong — tokoh yang sudah sekian lama membawa musik klasik keliling Indonesia, dan lalu menjadi salah satu pelopor Orkestra Simfonia Jakarta ini. Sunyi sejenak, lalu mengalun bagian awal dari Simfoni Keenam. Dawai-dawai memulai alunan, dengan gaya tenang, teduh, dan anggun. Masuklah deretan pipa-pipa mungil yang ditiup, membawa suasana riang dan lincah. Khas Beethoven: flute yang bergantian membawa suasana ceria. Lalu … hey … ada yang menarik. Ada dimensi yang memisahkanku dari skala waktu linear. Ia membawa ke alam yang luas, berwarna keemasan, dan paralel mengisi ruangan. Beda sekali dengan versi CD. Aku baru sadar, baru sekali ini aku mendengarkan Simfoni Keenam secara live. Lalu segala instrumen menderu, membawa badai dan guruh di luar sana masuk ke aula. Mendung tebal sore itu tampak lebih menghitam dan memasuki hall. Lalu ditenangkan. Tapi tak juga terasa tenang buat aku. Sampai simfoni berakhir. Masih terasa ada hentakan keras di dalam.

Kemayoran tak lagi hujan. Masih berangin tak nyaman. Tapi Beethoven membuat angin dan gelap itu terasa memiliki aroma yang menyegarkan.

Akhir Oktober, di tempat yang sama akan ditampilkan Simfoni Kesembilan, oleh Dubrovnik Symphony Orchestra. Tag di agenda! :)

7 Replies to “Beethoven Night”

  1. dengar di versi CD aja saya dah ngantuk mas :) tapi membaca artikelnya sepertinya memang nyaman mendengarkan orchestra live ya

  2. waaahhh…beethoven night! ngga bilang-bilang :( tahu gitu meluncur ke jakartanya minggu lalu, bukan minggu depan

  3. @Dian: Beethoven, biarpun berkakek orang Belanda, seumur2 menjalani budaya Jerman. Ini orang Jerman malah mau ke Jakarta nonton Beethoven. Ngabis2in jatah kursi penonton aja. Lihat di Berlin aja gih! :p
    (Trus buat reviewnya ya. Jangan lupa.)

Leave a Reply to Dian Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.