Kitsch

Berkeliling web pagi ini, di sebuah Warnet di Rawamangun, yang sering terbayang adalah kata kitsch. Pertama kebaca sebagai salah satu tema buku Kundera, Unbearable Lightness of Being. Ah, ada satu kata kunci lagi di buku yang lain, yaitu litost. Tapi soal litost lain kali deh.

Seorang pejabat melihat anak2nya bermain. Ia melihat dengan penuh kasih sayang. Lalu ia terharu, bukan oleh anak2nya, tetapi oleh rasa kasih sayangnya. Ini contoh awal Kundera atas kitsch. Juga parade-parade besar, yang membuat orang hanyut, terbawa, padahal hal2 semacam itu sebetulnya di-arrange sendiri. Perilaku kitsch: kebutuhan untuk menatap cermin yang menampilkan keindahan, keagungan, atau apa pun, dan kemudian menjadi terharu oleh kepuasan atas bayangannya sendiri. Dengan demikian, kitsch adalah musuh kemanusiaan: kepuasan individual atas bayangannya sendiri.

Di Perancis, kitsch disebut art de pacotille — seni sampah. Trus, ada apa dengan web? Cecentilan dengan bentuk dan tulisan, yang tidak selalu match dengan pesan — kalaupun pesannya ada. Kenapa mesti bla-bla-bla tentang sesuatu, dan melebih2kan, dalam web kita, kalau itu sudah ada di banyak web lain. Kenapa harus ikut arus, dan menjadi sampah di Internet? Pesan apa yang mau disampaikan?

Menulis … dengan ketulusan, bukan untuk mengagumi atau dikagumi. Terutama oleh diri sendiri.

Categories: Uncategorised

One Reply to “Kitsch”

  1. hahaha… perlu waktu juga saya rupanya biar ngeh maksud dari arti kitch, dan litost itu. anyway, maknanya bagus tuh koen, i like this quote:

    Menulis … dengan ketulusan, bukan untuk mengagumi atau dikagumi. Terutama oleh diri sendiri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.