Mendidik

Konon, ilmu memang menggelincirkan orang jadi terasing dengan lingkungannya. Semacam Zarathustra yang jadi mengasingkan diri ke puncak gunung, lalu akhirnya mau turun kembali untuk mendidik masyarakat. Untuk mendidik masyarakat? Selalukah ilmu mendorong orang jadi lebih tinggi hati? Kapankah masyarakat bisa dibentuk dengan pendidikan yang semacam itu?

Barangkali memang ada yang akan mendengarkan para penceramah masyarakat. Tapi orang-orang itu juga akan mendengarkan dan mempercayai apa saja yang sekilas masuk akal mereka, pun termasuk segala ulasan politik, interpretasi agama, dan bahkan tipuan arisan berantai. Sama-sama terdengar masuk akal, sekilas, dan sama-sama bohong. Para pengikut kiai atau ketua partai, dan pemuda yang berteriak di jalan-jalan, dan orang-orang yang sibuk jual beli saham dengan uang haramnya, dan pegawai penganggur yang ikut arisan berantai, barangkali semuanya mengikuti alur paradigma yang sama. Mendengarkan dan mempercayai. Apa masyarakat semacam ini yang mau dibentuk?

Kalau Allâh berkehendak, semua orang akan hidup di jalan yang lurus. Tapi memang hidup fana ini tidak dibuat untuk sekedar hal-hal lurus semacam itu. Kasih sayang tidak dibentuk dengan indoktrinasi, pun dengan jalan yang halus. Kasih sayang adalah sesuatu yang dialirkan dari hati ke hati, satu demi satu. Bukan oleh kiai sejuta umat, tetapi dari guru seorang murid, dari suami ke istri, dari orang tua ke anak, dari sahabat ke sahabat, dari kawan ke kawan, melalui interaksi yang terus menerus dalam kegiatan hidup yang mengalir setiap hari, yang kemudian kita sederhanakan dengan kata masyarakat.

Masyarakat tidak bisa dibentuk. Kita membentuk diri sendiri. Turun, terjun, pegang tanah, kotori pakaian, bekerja dengan ikhlas, dan saling menyayangi dengan orang-orang yang bisa kita sentuh, bisa kita sayangi. Masyarakat berubah dengan cara itu. Bukan dengan cara Zarathustra yang berteriak di tengah pasar “Tuhan sudah mati”, tetapi dengan berbisik ke seorang kawan “ceritakanlah padaku tentang yang maha penyayang”, atau setidaknya dalam bentuk lain “apa khabar?”

Lalu saling mendengarkan, bukan dengan maksud agar orang-orang senang karena didengarkan, tetapi dengan maksud menerima dan memperbaiki diri sendiri. Semakin tinggi ilmu, semakin haus orang akan ilmu, sehingga ia terus mencarinya ke relung hati yang mana pun. Kemudian ketinggian ilmu akan tampak hanya dengan kerendahan hati. Selalu rendah hati. Barangkali orang yang berilmu justru akhirnya tidak pernah mengklaim kebenaran. Sekedar bekerja dengan ikhlas untuk masyarakat, sambil berdoa, bersyukur, dan mohon ampun setiap saat kepada Tuhannya.