Ronggowarsito

Celtic. Nordic. Kapan mau cerita tentang budaya Jawa? Tapi soalnya, apa yang mau diceritain. Dulu aku jadi minoritas orang non Jawa di Malang, haha. Dan waktu di Bandung aku jadi minoritas orang Jawa. Pertama kali menyentuh budaya Jawa waktu diajarin bahasa Jawa di kelas, lengkap sama hanacaraka-nya. Terus belajar karawitan (dengan sepenuh hati) di SMA. Nggak lebih. Barangkali budaya Jawa udah mati di situ.

Budaya seharusnya adalah hal yang dikembangkan secara progresif di masyarakat. Jadi budaya Jawa nggak ada hubungannya sama nulis hanacaraka di Internet, tapi lebih pada memasyarakatkan Internet berbahasa Inggris ke orang Jawa yang speak Indonesianpun enggan setengah mati. Juga bukan memasyarakatkan pikiran kuno orang Jawa ke dunia internasional, tapi memasyarakatkan pikiran progresif ke orang Jawa.

Sunan Kalijaga bisa dijadikan panutan untuk soal ini. Beda sama sunan lain yang sibuk ngurusin penerapan fiqh, Sunan Kalijaga lebih berfokus pada meningkatkan kemanusiaan dengan mengembangkan kebudayaan. Aneh kalau keturunannya terus sibuk mengabadikan Ronggowarsito. Ronggowarsito hidup sezaman dengan filosof sekelas Nietzsche, sosiolog sekelas Marx, fisikawan sekelas Maxwell, dan budayawan sekelas Goethe (untuk tidak menulis Wagner melulu). Di jaman itu pun sebenernya pikiran Ronggowarsito udah ketinggalan jaman. Masa sih mau diabadikan?

Apa berarti pikiran orang Jawa semuanya dekaden? Soalnya bukan itu. Banyak orang Jawa dengan pikiran cemerlang. Tapi pikiran cemerlang itu terus nggak diakui sebagai budaya Jawa, soalnya Jawa yang diakui sebagai Jawa cuman yang udah dikakukan oleh aristrokasi berabad-abad.